World Socialist Web Site www.wsws.org

WSWS : Bahasa Indonesia

Australia menggertak Timor Timur "merdeka" atas minyak dan gas

Oleh Mike Head
30 Mei 2002

Kembali ke versi layar | Kirim link lewat email | Email penulis

Walau Timor Timur telah dinyatakan sebagai negara terbaru merdeka di dunia pada tanggal 20 Mei, suatu pertentangan sengit tengah terjadi di belakang layar perihal kehendak Australia untuk memiliki bagian terbesar dari satu-satunya penghasilan alam daerah kecil tersebut--yaitu, deposito maha besar minyak dan gas alam di bawah Laut Timor antara kedua negara.

Baik sebelum ataupun sesudah acara serah-terima kedaulatan oleh PBB, pembentukan negara baru ini didominasi oleh permasalahan yang telah mendorong dan memutar nasib Timor Timur sepanjang tigapuluh tahun terakhir; pergulatan antara para pemangsa akan penguasaan sumber-sumber alam di bawah laut.

Pemerintah Australia mendesak agar pimpinan Timor Timur meniadakan tuntutan perihal penentuan ulang batasan maritim yang sangat tidak menguntungkan sebagaimana tertera pada Timor Gap Treaty 1989. Persetujuan ini dicapai oleh rezim dictator militer di bawah Jenderal Soeharto dengan pemerintahan Partai Buruh Keating sebagai timbal-balik akan pengakuan resmi Australia atas pengambil-alihan Timor Timur pada tahun 1975 oleh Indonesia.

Atas desakan Canberra, Ketua Menteri Alkatiri menandatangani suatu perjanjian baru Timor Sea Treaty (Perjanjian Laut Timor) dalam kurun waktu beberapa jam setelah dilantik, yang mempertahankan Perjanjian 1989 akan zona pengembangan bersama, halmana mengalokasikan bagian terbesar dari kekayaan di dasar laut itu ke Australia. Bila zona pengembangan bersama ini diganti dengan suatu perbatasan yang didasarkan pada hukum international, bagian terbesar dari kekayaan dasar laut tersebut akan menjadi milik Timor Timur.

Walaupun ada tekanan keras dari Canberra, Alkatiri menolak untuk menyetujui penetapan suatu perbatasan yang tetap dan kekal. Perjanjian 20 May itu menyatakan dengan tegas bahwasanya itu ditandatangani “tanpa mempengaruhi” hak Timor Timur untuk penyelesaian perbatasan dasar laut di kemudian hari.

Begitu tinta kering pada dokumen Perjanjian itu, Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer terbang ke Jakarta untuk berbincang dengan para menteri Indonesia; halmana ia menyatakan bahwa pemerintahan Howard telah menyatakan kepada para pemimpin Timor Timur bahwa mereka tidak akan menegosiasi ulang perbatasan maritimnya.

Dengan kritikan dari para politisi oposisinya atas penandatanganan Perjanjian tersebut, Alkatiri segera menuduh Downer membuat “suatu pernyataan bohong”. Alkatiri menyatakan bahwa pada saat makan-siang hari kemerdekaan itu, Downer meyakinkannya bahwa Australia siap untuk membicarakan perbatasan yang baru. Alkatiri megkilaskan bahwa Perjanjian ini tidak akan direktifikasi oleh parlemen Timor Timur, dan akan menciptakan suatu perdebatan berkepanjangan.

Menambah pada kepedihan itu adalah kenyataan bahwa pada saat sebelum kemerdekaan, pada tanggal 26 Maret, pemerintah Australia secara mendadak mengumumkan bahwa mereka tidak akan tunduk lagi pada keputusan perbatasan laut International Court of Justice (biasanya disebut sebagai World Court) dan International Tribunal for the Law of the Sea. Alkatiri menjelaskan tindakan ini sebagai “tidak bersahabat”, “mengikat tangan” pemerintahannya. Bekas menteri pada kabinet administrasi PBB, ex-diplomat Amerika Serikat Peter Galbraith, menuduh Australia “bertabiat buruk” dan melukiskan tindakannya sebagai “tidak dapat diterima dalam praktek international”.

“Kebaikan” Australia

Sekitar 150 demonstran yang marah menghadang Perdana Menteri Australia John Howard selagi ia berada di Dili, ibukota Timor Timur, untuk menyaksikan upacara perayaan kemerdekaan dan pemarafan dokumen perjanjian. Mereka menuduh Australia menipu negara kecil ini, membawa spanduk bertulisan “Australia, berhenti mencuri minyak Timor”.

Howard mengibas kekuatiran para demonstran, bersikukuh bahwa perjanjian ini merupakan “hasil yang sangat bagus” dan “sangat adil” untuk rakyat Timor. Pernyataan dia, yang secara umum dicetak tanpa kritikan oleh media Australia dan internasional, didasari pada keputusan pemerintahannya untuk membagi royalty pada zona eksplorasi bersama sebesar 90:10 atas keuntungan Timor Timur. Akan tetapi pembagian penghasilan ini, pertama kali diumumkan Juli tahun lalu, hanya ditawarkan jika pemerintah baru Timor Timur meniadakan semua tuntutan berkenaan dengan teritori.

Perjanjian zona bersama tahun 1989 itu mencakup sebagian besar deposito minyak dan gas yang diketahui pada cengkungan benua antara Australia dan Timor. Bilamana perbatasan digambar ulang berdasarkan azaz titik-tengah sebagaimana dianut pada konvensi 1982 PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), salah satu cadangan gas yang terbesar, Bayu Undan, akan berada sepenuhnya dalam wilayah Timor, memberi Dili royalti yang dapat mencapai US$4 milyard dalam kurun dua puluh tahun.

Bila azaz titik-tengah ini diperpanjang ketimur dan kebarat, melampaui zona bersama, Timor Timur akan memperoleh keuntungan lebih besar. Berdasarkan pendapat hukum, Timor Timur berhak atas 80 persen dari deposito terbesar dikawasan ini, Greater Sunrise, dengan cadangan antara tiga sampai dengan tujuh kali lebih besar dari Bayu-Undan. Pada saat ini, hanya 20 persen dari Greater Sunrise berada dalam zona bersama, memberi Timor Timur hanya 18 persen dari royaltinya. Perbedaan in senilai US$36 milyard dalam bentuk royalti antara tahun 2009 sampai dengan 2050.

Timor Timur juga dapat menuntut proyek Laminaria/Corallina, yang lebih kecil, yang kini dianggap milik Australia. Proyek ini diperkirakan mengandung 200 juta barel minyak dan gas dan telah menghasilkan kira-kira US$300 juta per tahun untuk Kas Negara Australia.

Royalti hanyalah merupakan sebagian kecil dari gambaran keseluruhannya. Hampir semua penyulingan, distribusi dan jasa penunjangan proyek, mencakupi sebagian terbesar dari investasi, keuntungan, penghasilan perpajakan dan kesempatan pekerjaan, kini diarahkan untuk Australia bagian utara. Diantaranya adalah dua kilang pengelolah gas yang akan dibangun di Ibukota Northen Territory, Darwin, dan sebuah jalur pipa menghubungi Darwin dengan Australia bagian Selatan.

Tiada satupun perusahaan minyak dunia yang melaksanakan proyek lepas-pantai berdasarkan Perjanjian 1989 yang telah mengusulkan jalur pipa keTimor Timur, halmana berjarak lebih dekat dari letak cadangannya. Namun, berdasarkan pendapat para ahli geologi, hal ini kini secara teknis dapat dilaksanakan, walau adanya palungan bawah laut yang dalam di lepas pantai Timor. Pengolahan hilir di Timor Timur dapat menciptakan lapangan kerja untuk sebagian dari masyarakat Timor Timur yang menganggur, dan kini hidup dalam alam kemelaratan.

Diatas dan melampaui permasalahan royalty, perpajakan dan investasi, cadangan Laut Timor dianggap oleh Canberra sebagai suatu permasalahan strategis kritis, yang berimplikasi pada pengadaan energi dan penghasilan ekspor. Di Jakarta, Downer secara tegas mengutarakan salah satu keprihatinan Australia; bila perbatasan dengan Timor Timur ditetapkan berdasarkan tatacara UNCLOS, regime Indonesia dapat meminta penentuan ulang perbatasan yang sama tidak menguntungkannya. Downer menyatakan kemungkinan ini sebagai “malapetaka” dan “suatu permasalahan yang sangat amat besar” untuk Australia.

Dengan alasan ini, Downer menyampingkan kemungkinan negosiasi ulang perbatasan dengan Timor Timur dan juga meminta kepastian dari para menteri Indonesia untuk tidak memasalahkan kembali perihal perbatasan ini. Tidak ada ketegasan datang dari pihak Indonesia. Dalam bulan bulan akhir ini, para politisi dari Timor Barat Indonesia telah mengancam untuk mengajukan permohonan untuk penentuan batas laut yang baru dengan Australia, yang akan memberikan mereka bagian dalam proyek-proyek lepas pantai.

Perselisihan ini dapat ditarik kembali ke tahun 1972, saat Soeharto menandatangani perjanjian perbatasan dengan Australia, memberikan sebagian besar kekuasaan atas cekungan benua itu, sebagai timbal-balik untuk dukungan Australia pada regime berdarahnya. Portugal, sebaliknya, yang saat itu masih merupakan penguasa kolonial Timor Timur, menolak untuk menegosiasikan perjanjian serupa dengan Australia. Hal ini menciptakan suatu “celah” sepanjang 300 kilometer yang belum terputuska di antara perbatasan Indonesia dan Australia, di samping Timor Timur.

Portugal tetap menyatakan kedaulatannya terhadap daerah ini dan, pada awal tahun 1970an, regime Caetano di Lisbon memberi beberapa hak konsesi eksplorasi di Celah Timor. Setelah invasi Indonesia di tahun 1975, Portugal tetap memegang teguh semua tuntutannya dan menolak untuk mengakui Timor Gap Treaty tahun 1989.

Setidaknya kini ada dua perusahaan yang bersikukuh pada tuntutan Portugal sebelum 1975. Satu adalah perusahaan minyak Amerika Serikat, Petro Timor, telah menawarkan untuk membiayai tuntutan Timor Timur di World Court. Ia memperoleh nasehat hukum bahwa Australia tidak dapat “begitu saja pergi” dari pengadilan, yang mana di tahun 1995 mengeluarkan pendapat bahwa perjanjian di tahun 1989 itu tidak belaku, berdasarkan fakta bahwa Portugal masih tetap merupakan penguasa daerah tersebut. Sebuah perusahaan Amerika Serikat yang lain, Unocal, memperjuangkan pembangunan saluran pipa ke Timor Timur.

Ketegangan-Ketegangan Yang Meningkat

Jadi, walaupun pada saat kelahirannya, Timor Timur masih menjadi pion dalam permainan busuk antara Australia, Portugal dan Indonesia. Di samping kepentingan stategis dan penghasilan negara sangatlah banyak kepentingan perusahaan swasta yang terlibat dalam pertaruhan itu. Di antara konsortium utama yang kini mengekplorasi cadangan dalam Timor Sea Treaty adalah perusahaan raksasa minyak Amerika Serikat Phillips Petroleum dan perusahaan Inggris/Belanda Shell Group.

Perusahaan perusahaan lain yang telah menanam investasi yang cukup besar di Timor Sea termasuk Woodside Petroleum (anak perusahaan dari Shell), Santos (pengembang terbesar gas di dataran Australia), Inpex (perusahaan Jepang yang memiliki sangat banyak konsesi di Indonesia), Kerr-McGee Corp. (perusahaan Amerika Serikat), Petroz (perusahaan Australia yang kecil), Agip (perusahaan Itali) dan Osaka Gas (perusahaan Jepang).

Sangat sukar untuk menentukan suatu angka perkiraan keuntungan menyeluruh dari lading Timor, namun dalam annual general meeting Woodside Petroleum pada bulan April dilaporkan bahwa Greater Sunrise saja akan menghasilkan kira-kira US$ 30 milyard.

Pada saat kunjungan ringkasnya di Dili, Howard menyatakan dua ancaman terselubung.

Pertama, ia secara tegas mengatakan bahwa tidaklah akan ada bantuan dana yang besar, memperingatkan para pimpinan Timor Timur bahwa keberhasilan perekonomian negaranya tergantung pada “kemampuan penciptaan suasana usaha yang memadai dan dapat mengundang para investor asing”.

Kedua, Howard menyatakan bahwa Australia akan mempertahankan 1.200 pasukan di Timor Timur “selama masih dibutuhkan”. Sebagaimana pandangan beberapa pengamat, walau pemampilan pasukan ini ditujukan langsung untuk menghindari timbulnya aktivitas para milisi pro-Indonesia, kepentingan utama Canberra adalah pengamanan operasi minyak dan gasnya.

Ini bukan pertama kalinya pemerintahan Howard melakukan tindakan tangan-besi. Selama 15 bulan dalam negosiasi yang tegang dengan PBB dan pimpinan Timor Timur sebelum persetujuan July untuk mempertahankan zona kerjasama yang lama, Downer dan para menteri Australia yang lainnya sering mengutarakan kemungkinan pengurangan bantuan untuk daerah miskin ini.

Di bawah perjanjian baru tanggal 20 Mei ini, para pejabat Australia dan Timor Timur akan mulai berbicara prihal pembagian penghasilan perpajakan dari Greater Sunrise dalam kurun waktu beberapa minggu ini, dengan adanya hari akhir pencapaian persetujuan final pada tanggal 31 Desember. Para pendukung Timor Timur memperingatkan bahwa bila Australia menolak untuk memberikan konsesi, akan terjadi ketidak sukaan, frustrasi dan “darah panas” di antara rakyat Timor timur.

Para pimpinan Timor Timur menghimbau suatu pengakomodasian dari Canberra untuk menghindari suatu pertentangan terbuka. Walau ia menuduh Downer tidak menyatakan kebenaran atas Persetujuan tanggal 20 Mei itu, Alkatiri meniadakan kemungkinan ke World Court dan menghimbau untuk “pembicaraan bersahabat antara dua negara yang bersahabat”. Menteri Luar Negeri Jose Ramos Horta menyatakan lebih lanjut, sebagai “negara berpikiran adil”, Australia akan pada saatnya menyerahkan bagian terbesar dari kekayaan minyak dan gas itu kepada Timor Timur.

Kenyataan beberapa minggu yang silam, tidakpun membicarakan tiga puluh tahun yang lalu, menunjukkan sebaliknya.

 



Copyright 1998-2017
World Socialist Web Site
All rights reserved