Walau Timor Timur telah dinyatakan sebagai negara terbaru merdeka
di dunia pada tanggal 20 Mei, suatu pertentangan sengit tengah
terjadi di belakang layar perihal kehendak Australia untuk memiliki
bagian terbesar dari satu-satunya penghasilan alam daerah kecil
tersebut--yaitu, deposito maha besar minyak dan gas alam di bawah
Laut Timor antara kedua negara.
Baik sebelum ataupun sesudah acara serah-terima kedaulatan
oleh PBB, pembentukan negara baru ini didominasi oleh permasalahan
yang telah mendorong dan memutar nasib Timor Timur sepanjang tigapuluh
tahun terakhir; pergulatan antara para pemangsa akan penguasaan
sumber-sumber alam di bawah laut.
Pemerintah Australia mendesak agar pimpinan Timor Timur meniadakan
tuntutan perihal penentuan ulang batasan maritim yang sangat tidak
menguntungkan sebagaimana tertera pada Timor Gap Treaty 1989.
Persetujuan ini dicapai oleh rezim dictator militer di bawah Jenderal
Soeharto dengan pemerintahan Partai Buruh Keating sebagai timbal-balik
akan pengakuan resmi Australia atas pengambil-alihan Timor Timur
pada tahun 1975 oleh Indonesia.
Atas desakan Canberra, Ketua Menteri Alkatiri menandatangani
suatu perjanjian baru Timor Sea Treaty (Perjanjian Laut Timor)
dalam kurun waktu beberapa jam setelah dilantik, yang mempertahankan
Perjanjian 1989 akan zona pengembangan bersama, halmana mengalokasikan
bagian terbesar dari kekayaan di dasar laut itu ke Australia.
Bila zona pengembangan bersama ini diganti dengan suatu perbatasan
yang didasarkan pada hukum international, bagian terbesar dari
kekayaan dasar laut tersebut akan menjadi milik Timor Timur.
Walaupun ada tekanan keras dari Canberra, Alkatiri menolak
untuk menyetujui penetapan suatu perbatasan yang tetap dan kekal.
Perjanjian 20 May itu menyatakan dengan tegas bahwasanya itu ditandatangani
tanpa mempengaruhi hak Timor Timur untuk penyelesaian
perbatasan dasar laut di kemudian hari.
Begitu tinta kering pada dokumen Perjanjian itu, Menteri Luar
Negeri Australia Alexander Downer terbang ke Jakarta untuk berbincang
dengan para menteri Indonesia; halmana ia menyatakan bahwa pemerintahan
Howard telah menyatakan kepada para pemimpin Timor Timur bahwa
mereka tidak akan menegosiasi ulang perbatasan maritimnya.
Dengan kritikan dari para politisi oposisinya atas penandatanganan
Perjanjian tersebut, Alkatiri segera menuduh Downer membuat suatu
pernyataan bohong. Alkatiri menyatakan bahwa pada saat makan-siang
hari kemerdekaan itu, Downer meyakinkannya bahwa Australia siap
untuk membicarakan perbatasan yang baru. Alkatiri megkilaskan
bahwa Perjanjian ini tidak akan direktifikasi oleh parlemen Timor
Timur, dan akan menciptakan suatu perdebatan berkepanjangan.
Menambah pada kepedihan itu adalah kenyataan bahwa pada saat
sebelum kemerdekaan, pada tanggal 26 Maret, pemerintah Australia
secara mendadak mengumumkan bahwa mereka tidak akan tunduk lagi
pada keputusan perbatasan laut International Court of Justice
(biasanya disebut sebagai World Court) dan International Tribunal
for the Law of the Sea. Alkatiri menjelaskan tindakan ini sebagai
tidak bersahabat, mengikat tangan pemerintahannya.
Bekas menteri pada kabinet administrasi PBB, ex-diplomat Amerika
Serikat Peter Galbraith, menuduh Australia bertabiat buruk
dan melukiskan tindakannya sebagai tidak dapat diterima
dalam praktek international.
Kebaikan Australia
Sekitar 150 demonstran yang marah menghadang Perdana Menteri
Australia John Howard selagi ia berada di Dili, ibukota Timor
Timur, untuk menyaksikan upacara perayaan kemerdekaan dan pemarafan
dokumen perjanjian. Mereka menuduh Australia menipu negara kecil
ini, membawa spanduk bertulisan Australia, berhenti mencuri
minyak Timor.
Howard mengibas kekuatiran para demonstran, bersikukuh bahwa
perjanjian ini merupakan hasil yang sangat bagus dan
sangat adil untuk rakyat Timor. Pernyataan dia, yang
secara umum dicetak tanpa kritikan oleh media Australia dan internasional,
didasari pada keputusan pemerintahannya untuk membagi royalty
pada zona eksplorasi bersama sebesar 90:10 atas keuntungan Timor
Timur. Akan tetapi pembagian penghasilan ini, pertama kali diumumkan
Juli tahun lalu, hanya ditawarkan jika pemerintah baru Timor Timur
meniadakan semua tuntutan berkenaan dengan teritori.
Perjanjian zona bersama tahun 1989 itu mencakup sebagian besar
deposito minyak dan gas yang diketahui pada cengkungan benua antara
Australia dan Timor. Bilamana perbatasan digambar ulang berdasarkan
azaz titik-tengah sebagaimana dianut pada konvensi 1982 PBB tentang
Hukum Laut (UNCLOS), salah satu cadangan gas yang terbesar, Bayu
Undan, akan berada sepenuhnya dalam wilayah Timor, memberi Dili
royalti yang dapat mencapai US$4 milyard dalam kurun dua puluh
tahun.
Bila azaz titik-tengah ini diperpanjang ketimur dan kebarat,
melampaui zona bersama, Timor Timur akan memperoleh keuntungan
lebih besar. Berdasarkan pendapat hukum, Timor Timur berhak atas
80 persen dari deposito terbesar dikawasan ini, Greater Sunrise,
dengan cadangan antara tiga sampai dengan tujuh kali lebih besar
dari Bayu-Undan. Pada saat ini, hanya 20 persen dari Greater Sunrise
berada dalam zona bersama, memberi Timor Timur hanya 18 persen
dari royaltinya. Perbedaan in senilai US$36 milyard dalam bentuk
royalti antara tahun 2009 sampai dengan 2050.
Timor Timur juga dapat menuntut proyek Laminaria/Corallina,
yang lebih kecil, yang kini dianggap milik Australia. Proyek ini
diperkirakan mengandung 200 juta barel minyak dan gas dan telah
menghasilkan kira-kira US$300 juta per tahun untuk Kas Negara
Australia.
Royalti hanyalah merupakan sebagian kecil dari gambaran keseluruhannya.
Hampir semua penyulingan, distribusi dan jasa penunjangan proyek,
mencakupi sebagian terbesar dari investasi, keuntungan, penghasilan
perpajakan dan kesempatan pekerjaan, kini diarahkan untuk Australia
bagian utara. Diantaranya adalah dua kilang pengelolah gas yang
akan dibangun di Ibukota Northen Territory, Darwin, dan sebuah
jalur pipa menghubungi Darwin dengan Australia bagian Selatan.
Tiada satupun perusahaan minyak dunia yang melaksanakan proyek
lepas-pantai berdasarkan Perjanjian 1989 yang telah mengusulkan
jalur pipa keTimor Timur, halmana berjarak lebih dekat dari letak
cadangannya. Namun, berdasarkan pendapat para ahli geologi, hal
ini kini secara teknis dapat dilaksanakan, walau adanya palungan
bawah laut yang dalam di lepas pantai Timor. Pengolahan hilir
di Timor Timur dapat menciptakan lapangan kerja untuk sebagian
dari masyarakat Timor Timur yang menganggur, dan kini hidup dalam
alam kemelaratan.
Diatas dan melampaui permasalahan royalty, perpajakan dan investasi,
cadangan Laut Timor dianggap oleh Canberra sebagai suatu permasalahan
strategis kritis, yang berimplikasi pada pengadaan energi dan
penghasilan ekspor. Di Jakarta, Downer secara tegas mengutarakan
salah satu keprihatinan Australia; bila perbatasan dengan Timor
Timur ditetapkan berdasarkan tatacara UNCLOS, regime Indonesia
dapat meminta penentuan ulang perbatasan yang sama tidak menguntungkannya.
Downer menyatakan kemungkinan ini sebagai malapetaka
dan suatu permasalahan yang sangat amat besar untuk
Australia.
Dengan alasan ini, Downer menyampingkan kemungkinan negosiasi
ulang perbatasan dengan Timor Timur dan juga meminta kepastian
dari para menteri Indonesia untuk tidak memasalahkan kembali perihal
perbatasan ini. Tidak ada ketegasan datang dari pihak Indonesia.
Dalam bulan bulan akhir ini, para politisi dari Timor Barat Indonesia
telah mengancam untuk mengajukan permohonan untuk penentuan batas
laut yang baru dengan Australia, yang akan memberikan mereka bagian
dalam proyek-proyek lepas pantai.
Perselisihan ini dapat ditarik kembali ke tahun 1972, saat
Soeharto menandatangani perjanjian perbatasan dengan Australia,
memberikan sebagian besar kekuasaan atas cekungan benua itu, sebagai
timbal-balik untuk dukungan Australia pada regime berdarahnya.
Portugal, sebaliknya, yang saat itu masih merupakan penguasa kolonial
Timor Timur, menolak untuk menegosiasikan perjanjian serupa dengan
Australia. Hal ini menciptakan suatu celah sepanjang
300 kilometer yang belum terputuska di antara perbatasan Indonesia
dan Australia, di samping Timor Timur.
Portugal tetap menyatakan kedaulatannya terhadap daerah ini
dan, pada awal tahun 1970an, regime Caetano di Lisbon memberi
beberapa hak konsesi eksplorasi di Celah Timor. Setelah invasi
Indonesia di tahun 1975, Portugal tetap memegang teguh semua tuntutannya
dan menolak untuk mengakui Timor Gap Treaty tahun 1989.
Setidaknya kini ada dua perusahaan yang bersikukuh pada tuntutan
Portugal sebelum 1975. Satu adalah perusahaan minyak Amerika Serikat,
Petro Timor, telah menawarkan untuk membiayai tuntutan Timor Timur
di World Court. Ia memperoleh nasehat hukum bahwa Australia tidak
dapat begitu saja pergi dari pengadilan, yang mana
di tahun 1995 mengeluarkan pendapat bahwa perjanjian di tahun
1989 itu tidak belaku, berdasarkan fakta bahwa Portugal masih
tetap merupakan penguasa daerah tersebut. Sebuah perusahaan Amerika
Serikat yang lain, Unocal, memperjuangkan pembangunan saluran
pipa ke Timor Timur.
Ketegangan-Ketegangan Yang Meningkat
Jadi, walaupun pada saat kelahirannya, Timor Timur masih menjadi
pion dalam permainan busuk antara Australia, Portugal dan Indonesia.
Di samping kepentingan stategis dan penghasilan negara sangatlah
banyak kepentingan perusahaan swasta yang terlibat dalam pertaruhan
itu. Di antara konsortium utama yang kini mengekplorasi cadangan
dalam Timor Sea Treaty adalah perusahaan raksasa minyak Amerika
Serikat Phillips Petroleum dan perusahaan Inggris/Belanda Shell
Group.
Perusahaan perusahaan lain yang telah menanam investasi yang
cukup besar di Timor Sea termasuk Woodside Petroleum (anak perusahaan
dari Shell), Santos (pengembang terbesar gas di dataran Australia),
Inpex (perusahaan Jepang yang memiliki sangat banyak konsesi di
Indonesia), Kerr-McGee Corp. (perusahaan Amerika Serikat), Petroz
(perusahaan Australia yang kecil), Agip (perusahaan Itali) dan
Osaka Gas (perusahaan Jepang).
Sangat sukar untuk menentukan suatu angka perkiraan keuntungan
menyeluruh dari lading Timor, namun dalam annual general meeting
Woodside Petroleum pada bulan April dilaporkan bahwa Greater Sunrise
saja akan menghasilkan kira-kira US$ 30 milyard.
Pada saat kunjungan ringkasnya di Dili, Howard menyatakan dua
ancaman terselubung.
Pertama, ia secara tegas mengatakan bahwa tidaklah akan ada
bantuan dana yang besar, memperingatkan para pimpinan Timor Timur
bahwa keberhasilan perekonomian negaranya tergantung pada kemampuan
penciptaan suasana usaha yang memadai dan dapat mengundang para
investor asing.
Kedua, Howard menyatakan bahwa Australia akan mempertahankan
1.200 pasukan di Timor Timur selama masih dibutuhkan.
Sebagaimana pandangan beberapa pengamat, walau pemampilan pasukan
ini ditujukan langsung untuk menghindari timbulnya aktivitas para
milisi pro-Indonesia, kepentingan utama Canberra adalah pengamanan
operasi minyak dan gasnya.
Ini bukan pertama kalinya pemerintahan Howard melakukan tindakan
tangan-besi. Selama 15 bulan dalam negosiasi yang tegang dengan
PBB dan pimpinan Timor Timur sebelum persetujuan July untuk mempertahankan
zona kerjasama yang lama, Downer dan para menteri Australia yang
lainnya sering mengutarakan kemungkinan pengurangan bantuan untuk
daerah miskin ini.
Di bawah perjanjian baru tanggal 20 Mei ini, para pejabat Australia
dan Timor Timur akan mulai berbicara prihal pembagian penghasilan
perpajakan dari Greater Sunrise dalam kurun waktu beberapa minggu
ini, dengan adanya hari akhir pencapaian persetujuan final pada
tanggal 31 Desember. Para pendukung Timor Timur memperingatkan
bahwa bila Australia menolak untuk memberikan konsesi, akan terjadi
ketidak sukaan, frustrasi dan darah panas di antara
rakyat Timor timur.
Para pimpinan Timor Timur menghimbau suatu pengakomodasian
dari Canberra untuk menghindari suatu pertentangan terbuka. Walau
ia menuduh Downer tidak menyatakan kebenaran atas Persetujuan
tanggal 20 Mei itu, Alkatiri meniadakan kemungkinan ke World Court
dan menghimbau untuk pembicaraan bersahabat antara dua negara
yang bersahabat. Menteri Luar Negeri Jose Ramos Horta menyatakan
lebih lanjut, sebagai negara berpikiran adil, Australia
akan pada saatnya menyerahkan bagian terbesar dari kekayaan minyak
dan gas itu kepada Timor Timur.
Kenyataan beberapa minggu yang silam, tidakpun membicarakan
tiga puluh tahun yang lalu, menunjukkan sebaliknya.