Undang-undang Politik Baru Diberlakukan di Indonesia
Oleh Peter Symonds
16 Februari 1999
Setelah melalui perdebatan dan tawar menawar berbulan-bulan,
badan perwakilan Indonesia, minggu lalu, memberlakukan paket undang-undang
politik, yang akan menjadi kerangka dasar untuk pemilu 7 Juni
1999 mendatang. Paket undang-undang tersebut mencakup secara rinci
komposisi baru dari badan-badan perwakilan, tata aturan pemilu,
dan fungsi partai-partai politik (parpol).
Bagi kelas penguasa, baik di Indonesia maupun dunia internasional,
pemilu mendatang merupakan suatu hal yang besar dan menentukan.
Kehancuran ekonomi Indonesia semenjak tahun lalu telah menambah
kemiskinan dan pengangguran, serta menaikkan suhu politik dan
gejolak sosial. B.J.Habibie telah menggantikan Suharto sebagai
presiden bulan Mei 1998 yang lalu, tetapi pemerintahan Habibie
terus-menerus menghadapi protes dan demonstrasi yang menuntut
pengunduran dirinya dan reformasi demokrasi yang lebih meluas.
Ketidakpercayaan yang meluas atas Habibie adalah faktor utama
penghambat implementasi langkah-langkah yang dikehendaki oleh
Dana Moneter Internasional (IMF), yaitu : penghentian subsidi
harga, pemotongan pengeluaran pemerintah, dan dibukanya berbagai
penghalang bagi investor asing. Di kalangan pers dan kelas-kelas
penguasa international, pemilu ini dianggap sebagai alat untuk
mengesahkan pemerintah yang akan terbentuk nantinya. Hal ini dilakukan
dengan menarik pimpinan-pimpinan oposisi seperti Megawati dan
Amien Rais ke dalam kancah pemilu.
Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer, mengutarakan
agenda tersebut dalam pernyataannya di depan World Economic Forum,
di Davos, Swiss : "Hal ini (pemilu mendatang), secara fundamental,
merupakan suatu rentang waktu yang sangat penting bagi Indonesia.
Pemilu mendatang di Indonesia harus sukses. Pemilu itu selayaknya
menjadi 'katup pengaman' untuk meredakan gejolak dan tekanan dalam
negeri. Tetapi, bila pemilu yang dipercaya gagal diselenggarakan,
maka potensi ketidakstabilan akan bertambah besar dan integritas
negara akan dipertanyakan".
Penelitian atas undang-undang politik baru ini, mengungkap
bahwa pemilu mendatang tidak akan jauh berbeda dengan pemilu yang
telah diselenggarakan di bawah rejim Suharto. Pemerintah Australia
bersama kekuatan-kekuatan besar lainnya, telah membantu Suharto
bertahun-tahun dan menerima pemilu 'buatan'-nya. Downer mengkhawatirkan
apabila 'komunitas internasional' tidak memberikan 'dukungan dan
dorongan' yang diperlukan, pemilu mendatang, secara meluas, akan
dilihat sebagai pemilu yang tidak memiliki legitimasi dan tidak
demokratis.
Penyelenggaraan pemilu mendatang mengambil kerangka dasar secara
keseluruhan dari Undang-undang Dasar 45 (UUD '45), yang memberlakukan
dua badan perwakilan, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden, yang memiliki kekuasaan
luas untuk memerintah dengan kekuatan kewenangan hukum, dan berkuasa
untuk menunjuk serta memberhentikan menteri, tidak dipilih melalui
pemilihan langsung, melainkan dari Sidang Umum MPR.
Di bawah rejim Suharto, badan perwakilan yang hanya berfungsi
sebagai organ 'bawahan', berisikan orang-orang yang ditunjuk presiden
termasuk sejumlah pejabat tinggi militer. Badan-badan perwakilan
ini tidak banyak berperan dalam pemerintahan sehari-harinya, dan
jarang sekali menggunakan kekuasaan legislatifnya. MPR yang telah
menunjuk Suharto dalam 7 masa jabatan, terdiri dari 500 anggota
DPR, hanya 400 dari mereka yang dipilih, dan 500 lainnya ditunjuk.
Hanya tiga partai -- yakni Golongan Karya (Golkar), Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
-- yang secara resmi diperbolehkan untuk mengajukan kandidat.
Aparat negara memeriksa dengan cermat semua kandidat, materi pemilu
dari parpol, termasuk pidato, rapat akbar, dll. Golkar dipastikan
sebagai mayoritas dengan 70 s.d. 80 persen suara, karena itu merupakan
satu-satunya partai yang diperbolehan melakukan pengorganisasian
di daerah pedesaan. Sebagai tambahan, jutaan pegawai negeri termasuk
keluarga militer harus bergabung dan memilih Golkar.
Tahun lalu, MPR tanpa sanggahan kembali menunjuk Suharto menjadi
presiden dengan masa jabatan 5 tahun. Pada bulan Mei, kurang dari
4 bulan setelah penunjukkannya, ia dipaksa untuk mengundurkan
diri. Badan perwakilan ini juga, yang menyusun kerangka dasar
baru bagi pemilu mendatang, telah memprovokasi protes anti pemerintah
besar-besaran pada November lalu di tengah Sidang Istimewa yang
mereka selenggarakan. Diorganisasikan oleh pimpinan-pimpinan mahasiswa,
demonstrasi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, telah mengikutsertakan
puluhan ribu buruh dan bagian-bagian kalangan kelas menengah.
Rejim Habibie menggunakan polisi dan tentara untuk menghadapi
aksi protes tersebut, aparat keamanan tersebut melontarkan tembakan-tembakan
dari jarak sangat dekat ke kerumunan massa, sehingga menewaskan
dan melukai para demonstran.
Undang-undang Pemilu yang Baru
Perubahan yang dilakukan pada undang-undang yang baru ini,
menunjukkan keprihatinan para demonstran sedari awal, bahwa kerangka
dasar yang disusun oleh badan perwakilan yang seperti itu, tidak
akan berciri demokratis. Berikut ini adalah pokok-pokok pikiran
dari undang-undang tersebut :
Pihak militer akan mempertahankan sebagian besar dari
kehadirannya di DPR dengan 38 kursi. Jumlah anggota MPR akan dikurangi
dari 1,000 menjadi 700. Bersama anggota DPR, akan ada 200 anggota
yang ditunjuk : 135 ditunjuk oleh badan perwakilan daerah dan
65 lainnya dari kelompok sosial atau golongan. Sebagai hasilnya,
sepertiga dari MPR yang dimodifikasi ini -- yang nantinya akan
memilih presiden -- akan ditunjuk bukan dipilih.
Keberadaan fraksi militer di badan perwakilan telah mengundang
banyak aksi oposisi dari mahasiswa. Fraksi PPP yang sebelumnya
telah mengajukan penghapusan keberadaan militer di badan perwakilan,
namun akhirnya mundur dari usahanya setelah pihak ABRI menegaskan,
bahwa pihaknya tidak akan toleransi dengan segala hal yang mengakhiri
peranan dwifungsinya. Dengan dwifungsinya, ABRI tidak hanya ditunjuk
pada badan perwakilan nasional, tapi pada seluruh tingkat dan
lini dari pemerintahan.
Semenjak bulan Mei, lebih dari 120 parpol telah terbentuk
di Indonesia. Tetapi, di bawah undang-undang baru, sangat sedikit
dari partai-partai ini yang dapat mengikuti pemilu. Sebuah partai
boleh menjadi kontestan pemilu bila memiliki cabang di 9 dari
27 propinsi, dan memiliki cabang sedikitnya pada setengah dari
jumlah kabupaten dalam propinsi-propinsi tersebut. Hal ini merupakan
sesuatu yang mustahil untuk partai yang baru terbentuk, tanpa
dukungan bisnis yang besar.
Pengakuan partai diberikan oleh Tim 11 yang terdiri dari perwakilan
pemerintah dan organ non-pemerintah, yang ditunjuk oleh rejim
(Habibie). Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, memperkirakan sekitar
30 partai dapat menjadi peserta pemilu, namun pengamat lain menyatakan
bahwa jumlahnya akan jauh lebih kecil.
Hak politik bagi pegawai negeri sipil tidak ditentukan
oleh undang-undang ini, tapi oleh keputusan yang dikeluarkan Habibie.
Pada waktu yang lalu, pegawai negeri harus bergabung Golkar. Kini,
mereka tidak diperbolehkan untuk bergabung atau berpartisipasi
dalam parpol apapun. Mereka yang telah menjadi anggota partai
memiliki dua pilihan : mengundurkan diri dari pekerjaan (sebagai
pegawai negeri) atau mengakhiri keanggotaan partainya. Habibie
bertekad bahwa bila ia tidak bisa membuat 4 juta pegawai negeri
menjadi anggota Golkar, maka mereka tidak akan menjadi anggota
partai yang manapun.
Prosedur pemilihan belum sepenuhnya diklarifikasi, namun
sudah jelas bahwa dengan menggunakan dalih untuk mencegah terjadinya
kekerasan atau bentrokan, seluruh aspek dalam kampanye pemilu
akan diawasi dengan ketat. Hamid telah mengumumkan larangan untuk
rapat-rapat akbar di tempat terbuka bagi parpol dan kampanye-kampanye
dibatasi dalam waktu 20 hari menjelang pemilu 7 Juni.
Salah satu indikasi kuat tentang bagaimana kelangsungan pemilu
mendatang, bahwa sejumlah partai dan organisasi, termasuk PKI
dan PRD tetap dianggap terlarang dan para pimpinan mereka masih
dipenjara. Sedangkan Suharto yang mengambilalih kekuasaan pada
kup '65 dan memiliki andil dalam pembunuhan besar-besaran terhadap
sedikitnya 500,000 buruh, rakyat jelata, dan anggota PKI, tidak
hanya tetap bebas namun juga dilaporkan membayar sejumlah besar
uang untuk parpol-parpol yang nantinya akan melindungi kepentingan-kepentingannya.
Keseluruhan permainan ini tidak akan mungkin berlangsung tanpa
dukungan dari tokoh-tokoh kunci oposisi : Megawati, Amien Rais,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Sultan Hamengku Buwono X. November
lalu, ketika ratusan ribu orang sedang melakukan aksi protes,
keempat pemimpin mengadakan pertemuan darurat dan mengeluarkan
deklarasi yang mengesahkan proses ini dan mendukung keberlangsungan
peran politik militer. Rais, terutama, memperingatkan bahwa akan
terjadi anarki bila Habibie dipaksa turun dan proses pemilu diselenggarakan
oleh cara dan pihak selain badan perwakilan -- yang sarat dengan
orang tunjukkan Suharto.
Tokoh-tokoh oposisi borjuis ini telah diajukan dan dipertunjukkan
di media massa international sebagai pelaksana tuntutan kapital
keuangan (finance capital) internasional dan secara bersamaan
juga menekan segala oposisi rakyat yang muncul. Bukanlah suatu
kebetulan bahwa mereka turut mendukung keterlibatan aktif angkatan
bersenjata dalam politik di Indonesia dan mempertahankan ikatan
dekat dengan militer.
Jajak-jajak pendapat di Indonesia mengindikasikan suatu krisis
politik dan sikap skeptis yang mendalam dari kalangan pemilih
aktif. Survey Universitas Indonesia yang dilakukan bulan lalu
atas 4,925 pemilih aktif di 9 kota mengungkap bahwa 44 persen
dari masyarakat tidak tahu partai yang akan dipilih mereka, 4
persen mengatakan tidak akan memilih (golongan putih - golput).
Megawati mendapat dukungan terbesar dengan 15.8 persen dan yang
lainnya berada jauh di belakang: 5.1 persen memilih Golkar, 4.3
persen untuk Rais, dan 1.5 persen untuk Gus Dur. Survey lainnya
oleh majalah Tempo mengungkap bahwa 76 persen dari masyarakat
tidak mendukung Habibie untuk presiden.
Sepanjang sejarah Indonesia, semenjak Indonesia menerima kemerdekaan
secara formal dari Kolonial Belanda di tahun 1949, kaum borjuis
sulit untuk berkuasa tanpa menggunakan cara-cara yang tidak demokratis.
Segera setelah pemilu yang pertama dan satu-satunya pernah terjadi,
pada tahun 1955, pendahulu Suharto, Sukarno, menghapuskan parlemen
dan konstituante yang bertugas menyusun konsititusi dasar. Ia
mengembalikan UUD '45, yang memberikannya kekuasaan tidak terbatas,
lalu menciptakan sistem yang dikenal dengan demokrasi terpimpin,
yang diambil alih oleh junta militer di bawah Suharto hampir tanpa
perubahan sama sekali.
Ketidakmampuan kaum kapitalis untuk memenuhi kebutuhan sosial
dan aspirasi demokrasi dari masyarakat pekerja Indonesia, menunjukkan
dengan jelas bahwa tugas-tugas ini selayaknya menjadi tugas kelas
pekerja. Itu adalah satu-satunya kekuatan sosial yang mampu memimpin
rakyat menuju demokrasi yang sesungguhnya dan kesamaan sosial,
yang hanya bisa dicapai melalui reorganisasi masyarakat secara
sosialis.