Pada Bulan Oktober 1965 kaum buruh internasional mengalami
salah satu kekalahan yang terbesar dalam period setelah Perang
Dunia Kedua.
Sebanyak satu juta buruh dan petani dibantai dalam kudeta militer
yang diatur oleh CIA dan dipimpin oleh Jenderal Suharto. Kudeta
militer ini dilakukan untuk menyingkirkan rejim burjuis Sukarno
yang sedang goyah, menindas pergerakan massa di Indonesia dan
mendirikan rejim militer yang brutal.
Mantan-mantan diplomat Amerika Serikat and pejabat CIA, termasuk
bekas duta besar AS untuk Indonesia dan Australia, Marshall Green,
tahun ini telah mengakui bekerja sama dengan tukang-tukang jagal
Suharto dalam pembunuhan ratusan ribu buruh dan petani yang dicurigai
sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Mereka memberikan
secara perorangan nama-nama dari ribuan anggota PKI dari arsip-arsip
CIA, untuk daftar-daftar bantaian angkatan bersenjata.
Menurut Howard Federspeil, seorang ahli soal Indonesia yang
sedang bekerja untuk Departemen Luar Negeri AS pada waktu kampanye
anti-komunis itu: "Tak seorang pun perduli, asal saja mereka
itu komunis, kalau mereka dijagal."
Kudeta itu merupakan hasil dari sebuah operasi panjang CIA,
dengan bantuan agen-agen Dinas Intelijen Rahasia Australia (ASIS),
untuk melatih dan membangun angkatan bersenjata Indonesia dalam
persiapan untuk sebuah rejim militer yang akan menindas aspirasi
revolusioner rakyat Indonesia.
Pada waktu kudeta militer itu, PKI merupakan partai Stalinis
yang terbesar di seluruh dunia, di luar Cina dan Uni Sovyet. Anggotanya
berjumlah sekitar 3.5 juta; ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya.
PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3.5
juta anggota dan pergerakan petani BTI yang mempunyai 9 juta anggota.
Termasuk pergerakan wanita, organisasi penulis dan artis dan pergerakan
sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Selama perjuangan kemerdekaan melawan Belanda di tahun empatpuluhan
dan sepanjang tahun limapuluhan dan enampuluhan ratusan ribu orang
buruh yang sadar akan kelasnya menjadi anggota PKI, mengira PKI
masih mewakili tradisi-tradisi sosialis revolusioner Revolusi
Bolshevik 1917.
Namun pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota
dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan
puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya
perlawanan sama sekali.
Pembunuhan-pembunuhan itu sangatlah tersebar-luas, sampai sungai-sungai
menjadi penuh dengan mayat-mayat para pekerja dan petani. Sewaktu
regu-regu pembantai militer yang didukung CIA mencakupi semua
anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian
keji mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang
sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi
yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa
bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita
kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung
oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara
serius."
Bagaimanakah kekalahan bersejarah ini dapat terjadi? Jawabannya
memerlukan sebuah penelitian dari sejarah pergerakan rakyat Indonesia,
pengkhianatan oleh kelas burjuis nasional yang dipimpin oleh Sukarno,
peranan kontra-revolusioner PKI dan peranan penting yang dimainkan
oleh para oportunis Pablois dari "Sekretariat Tergabung"
(United Secretariat)-nya Ernest Mandel dan Joseph Hansen dalam
membantu pengkhianatan para Stalinis.
'Permata Asia'
Kudeta berdarah di Indonesia merupakan hasil dari niat imperialisme
AS untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan alam dan sumber-sumber
strategis dari kepulauan yang sering dinamakan 'Permata Asia'itu.
Pentingnya Indonesia bagi imperialisme AS ditegaskan oleh presiden
AS Eisenhower di tahun 1953, waktu ia mengatakan kepada konperensi
gubernur negara-negara bagian bahwa pembiayaan oleh AS untuk perang
kolonial pemerintah Perancis di Vietnam adalah sangat imperatif
dan merupakan "jalan termurah" untuk tetap mengontrol
Indonesia.
Eisenhower menerangkan:"Sekarang marilah kita anggap kita
kehilangan Indocina. Bila Indocina hilang, beberapa hal akan langsung
terjadi. Tanjung Malaka, sebidang tanah terakhir yang bertahan
di sana, akan menjadi sulit untuk dipertahankan. Timah dan tungsten
yang sangat kita hargai dari daerah itu akan berhenti datang,
dan seluruh India akan terkepung.
"Birma tidak akan berada di posisi yang dapat dipertahankan.
Semua posisi di sekitar sana akan menjadi sangat tak menyenangkan
buat Amerika Serikat, karena pada akhirnya jika kita kehilangan
semua itu, bagaimanakah dunia bebas akan mempertahankan kerajaan
Indonesia yang kaya?
"Jadi, entah dimana, ini harus diberhentikan dan harus
diberhentikan sekarang, dan inilah yang kita usahakan.
"Jadi, bila AS memutuskan untuk menyumbang 400 juta dolar
untuk membantu perang di Indocina, kita bukannya menyuarakan program
bantuan gratis. Kita memilih jalan termurah untuk mencegah terjadinya
sesuatu yang akan berarti sangat buruk buat Amerika Serikat, keamanan,
kekuatan dan kemampuan kita untuk mendapatkan barang-barang tertentu
yang kita butuhkan dari kekayaan-kekayaan wilayah Indonesia dan
Asia Tenggara."
Indonesia telah diperkirakan sebagai negara terkaya nomor lima
di dunia di bidang sumber-sumber alam. Selain sebagai produser
minyak yang nomor lima terbesar, Indonesia mempunyai cadangan-cadangan
timah, bauksit, batubara, emas, perak, berlian, mangan, fosfat,
nikel, tembaga, karet, kopi, minyak kelapa sawit, tembakau, gula,
kelapa, rempah-rempah, kayu dan kina yang sangat besar.
Pada tahun 1939, yang pada waktu itu masih dipanggil East Indies
Belanda memasok lebih dari separuh konsumsi total bahan mentah
yang penting bagi Amerika Serikat. Kekuasaan atas daerah penting
ini merupakan masalah penting dalam perang AS-Jepang di Pasifik.
Dalam masa setelah perang kelas penguasa AS bertekad bulat untuk
tidak kehilangan kekayaan-kekayaan negara ini ke tangan rakyat
Indonesia.
Setelah kekalahan Perancis di Vietnam di tahun 1954, AS menjadi
khawatir bahwa perjuangan rakyat Vietnam akan menyulut pergolakan
revolusioner di seluruh daerah Asia Tenggara, mengancam kontrol
mereka atas Indonesia.
Di tahun 1965, sebelum kudeta di Indonesia, Richard Nixon,
yang segera akan menjadi presiden AS, menyerukan untuk pengeboman
saturasi untuk melindungi "potensi mineral besar" Indonesia.
Dua tahun setelah itu, dia menyatakan bahwa Indonesia merupakan
"hadiah terbesar Asia Tenggara".
Setelah kudeta 1965, kegunaan diktatur Suharto untuk kepentingan
imperialisme AS telah tergarisbawahi dalam laporan Departemen
Luar Negeri AS ke Konggres di tahun 1975, yang menyebut Indonesia
sebagai "lokasi yang paling berwenang secara strategis di
dunia":
"Mempunyai populasi yang terbesar di seluruh Asia Tenggara.
"Merupakan penyuplai utama bahan-bahan mentah di daerah
itu.
"Kemakmuran ekonomi Jepang yang terus berkembang, sangatlah
tergantung pada minyak bumi dan bahan-bahan mentah lain yang
dipasok oleh Indonesia.
"Investasi Amerika yang sudah ada di Indonesia sangatlah
kokoh dan hubungan dagang kita sedang berkembang cepat.
"Indonesia mungkin secara meningkat akan menjadi penyedia
yang penting untuk keperluan energi AS.
"Indonesia adalah anggota OPEC, tetapi itu mengambil
sikap yang moderat dalam langkah-langkahnya, dan tidak ikut serta
dalam embargo minyak bumi.
"Kepulauan Indonesia terletak pada jalur-jalur laut
yang strategis dan pemerintah Indonesia memainkan peranan yang
vital dalam perundingan-perundingan hukum kelautan, yang sangatlah
penting untuk keamanan dan kepentingan komersiil kita."
Perampasan Kolonial Selama Berabad-Abad
Kolonial Belanda menjajah Indonesia tanpa ampun selama 350
tahun, merampok kekayaan alamnya, membuka perkebunan-perkebunan
besar dan memeras rakyatnya secara kejam.
Pada tahun 1940 hanya ada satu dokter untuk setiap 60,000 orang
(dibandingkan dengan India, di mana rasionya adalah 1:6,000) dan
2,400 lulusan Sekolah Menengah Atas. Pada akhir Perang Dunia Kedua,
93 persen dari populasi Indonesia masih buta-huruf.
Pada permulaan abad Kesembilan Belas, perkembangan kaum burjuis
Inggris makin menantang dominasi Belanda atas daerah ini. Di tahun
1800 East Indies Company milik Belanda menjadi bangkrut dan Inggris
mengambil-alih daerah kekuasaannya antara tahun 1811 dan 1816.
Di tahun 1824, Treaty of London (Perjanjian London) membagi daerah
ini antara keduanya: Inggris mendapat kontrol atas tanjung Malaka
dan Belanda tetap menguasai kepulauan Indonesia.
Permulaan abad Keduapuluh, imperialisme Amerika yang baru sedang
berkembang mulai menjadi tantangan untuk kekuatan kolonial Eropa,
terutama setelah pendudukan Filipina oleh Amerika Serikat di tahun
1898.
Amerika Serikat sedang terlibat dalam perang dagang dengan
Belanda atas minyak bumi dan karet. Perusahaan minyak Standard
mulai memperebutkan monopoli atas daerah-daerah pertambangan minyak
di Indonesia oleh Royal Dutch company. Di tahun 1907, Royal Dutch
dan Shell bergabung untuk menandingi kompetisi dari AS. Mengambil
keuntungan dari situasi Perang Dunia Pertama, Standard Oil mulai
mengebor minyak di Jawa Tengah, dan dalam tahun yang sama perusahaan-perusahaan
AS mulai menguasai perkebunan-perkebunan karet. Goodyear Tyre
and Rubber membuka perkebunan-perkebunan mereka dan US Rubber
membuka perkebunan-perkebunan karet di bawah satu pemilikan yang
terbesar di dunia.
Strategi AS di daerah ini sewaktu itu dapat diringkas oleh
Senator William Beveridge:
"Filipina adalah milik kita selamanya...dan lewat Filipina
adalah pasaran Cina yang tak terbatas. Kita tidak akan mundur
dari keduanya. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab kita
di kepulauan itu. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab
kita di Asia Timur. Kita tidak akan meninggalkan bagian kita di
dalam misi bangsa kita, kepercayaan Tuhan, untuk perdaban di dunia
ini...kita akan maju berkarya...dengan rasa terima kasih... dan
rasa syukur kepada Tuhan kita yang Maha Besar karena Dia telah
memilih kita sebagai orang-orang terpilihNya, dan selanjutnya
memimpin dalam regenerasi dunia...Perdagangan terbesar kita mulai
sekarang harus dengan Asia. Laut Pasifik itu adalah laut kita...
dan Pasifik adalah laut perdagangan masa depan. Kekuatan yang
memiliki Pasifik, adalah kekuatan yang menguasai dunia. Dan dengan
Filipina, kekuatan itu adalah dan akan selalu menjadi Republik
Amerika."
Berkembangnya imperialisme Jepang dan ekspansinya ke Korea,
Manchuria dan Cina menimbulkan pertentangan dengan imperialisme
Amerika atas penguasaan daerah-daerah itu, yang meningkat dan
meletus dalam Perang Pasifik dalam Perang Dunia Kedua. Keinginan
kaum burjuis Jepang untuk merebut kekuasaan AS, Perancis dan Belanda
membawa pentingnya Indonesia, sebagai gerbang ke Laut India dari
Asia Tenggara dan sumber kekayaan alam, ke dalam fokus.
Di tahun 1942 para kolonialis Belanda menyerahkan kekuasaan
atas Indonesia ke Jepang, daripada membiarkan rakyat Indonesia
berjuang untuk kemerdekaan. Semua kekuatan imperialis mempunyai
alasan baik untuk menakuti rakyat Indonesia yang tertindas.
Sejauh tahun 1914 wakil-wakil terbaik dari kelas buruh Indonesia
telah mengambil ajaran Marxisme ketika Assosiasi Sosial Demokrat
Indies (Indies Social Democratic Association) dibentuk dengan
inisiatip seorang komunis Belanda Hendrik Sneevliet. Di tahun
1921 itu berubah menjadi Partai Komunis Indonesia sebagai tanggapan
kepada Revolusi Bolshevik di Rusia.
PKI mendapatkan kewenangan besar di antara rakyat dengan memimpin
perjuangan melawan kolonialisme Belanda, termasuk pergerakan-pergerakan
besar yang pertama di Jawa dan Sumatra di tahun 1926 dan 1927.
Ketika rakyat Cina sedang bergerak dalam Revolusi Cina yang
kedua di tahun 1926-27, para pekerja dan petani Indonesia juga
bergerak dalam sebuah pemberontakan, yang dipimpin PKI. Bagaimanapun
juga, kewenangan kolonial Belanda berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan
itu. Mereka menangkap 13,000 orang tertuduh, memenjarakan 4,500
dan mengasingkan 1,308 ke dalam kamp konsentrasi di Irian Barat.
PKI dilarang.
Perjuangan Pembebasan Nasional Dikhianati
Pada akhir Perang Dunia Kedua rakyat-rakyat tertindas di Indonesia,
India, Sri Lanka, Cina dan di seluruh Asia Tenggara dan dunia
maju bergerak dalam perjuangan-perjuangan revolusioner untuk membebaskan
diri dari imperialisme.
Pada saat yang sama, kelas buruh di Eropa dan negara-negara
kapitalis mengadakan perjuangan-perjuangan yang menggoncangkan.
Itu hanya dapat dipadamkan melalui perkhianatan birokrasi Sovyet
yang dipimpin oleh Stalin dan partai-partai Stalinis di seluruh
dunia. Pengkhianatan pekerja-pekerja Perancis, Itali dan Yunani
yang terutama, dan pendirian rejim-rejim yang dikendalikan secara
birokratis di Eropa Timur memperbolehkan imperialisme untuk memantapkan
diri.
Di tahun 1930an, munculnya sebuah kasta berhak istimewa dalam
Uni-Sovyet, yang mengambil kekuasaan politis dari kaum proletar
Sovyet, telah menghancurkan partai-partai Komunis. Dari partai-partai
Internasional revolusioner, mereka berubah menjadi organisasi-organisasi
kontra-revolusioner, yang menekan perjuangan-perjuangan mandiri
kelas buruh.
Di negara-negara kolonial, partai-partai Stalinis ini, termasuk
PKI, secara sistematis mengebawahkan kepentingan rakyat ke kelas
burjuis-nasional yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Gandhi
di India dan Sukarno di Indonesia yang berusaha mencari penyelesaian
dengan kekuatan-kekuatan kolonial untuk mempertahankan kekuasaan
kapitalis.
Perjanjian-perjanjian setelah Perang Dunia Kedua tidak menghasilkan
pembebasan nasional yang sejati dari imperialisme, tetapi membebankan
kepada rakyat agen-agen baru kekuasaan imperialis. Ini adalah
kasusnya di Indonesia di mana kelas burjuis nasional, dipimpin
Sukarno, mengadakan perjanjian-perjanjian reaksioner dengan Belanda.
Sukarno, putra seorang guru sekolah Jawa yang berasal dari
keluarga aristokratis, adalah lulusan arsitek, bagian dari lapisan
sosial tipis kaum petit-burjuis yang berpendidikan. Dia adalah
ketua Partai Nasional Indonesia saat itu dibentuk di tahun 1927
dan mengalami penjara dan pengasingan di tangan Belanda karena
dia mengajarkan kemerdekaan nasional.
Dalam Perang Dunia Kedua Sukarno dan kelas burjuis nasional
bekerja sama dengan pasukan pendudukan Jepang dengan harapan mendapatkan
semacam kemerdekaan nasional. Dalam hari-hari terakhir perang
itu Sukarno, dengan dukungan separuh-hati Jepang, mendeklarasikan
Republik Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Arahan pemimpin-pemimpin kelas burjuis nasional ini bukanlah
untuk memimpin sebuah gerakan proletar melawan imperialisme, tetapi
untuk mendirikan sebuah administrasi dan memperkuat posisi mereka
dalam tawar-menawar dengan Belanda, yang tidak mempunyai tentara
di daerah itu.
Tetapi reaksi Belanda adalah mengadakan perang yang kejam untuk
menekan rejim yang baru ini. Mereka memerintahkan Indonesia untuk
tetap di bawah perintah tentara Jepang sampai tentara Inggris
dapat mencapai sana. Inggris dan Jepang kemudian menggunakan tentara-tentara
Jepang untuk menekan perjuangan bertekad para pekerja, pemuda
dan petani Indonesia. Dengan begitu, semua kekuatan-kekuatan imperialis
bergabung melawan rakyat Indonesia.
Ketika perlawanan bersenjata meletus di seluruh Indonesia terhadap
tentara Belanda, Sukarno, dengan dukungan dari kepemimpinan PKI,
menjalankan sebuah politik kompromi dengan Belanda dan menandatangani
Perjanjian Linggarjati di bulan Maret 1947. Belanda mengenali
secara formal kekuasaan Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra
dan setuju untuk mengundurkan tentara mereka. Tetapi kenyataannya,
Belanda hanya menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mengambil
napas dan memperkuat dan mempersiapkan diri untuk sebuah serangan
yang kebrutalannya tak tertandingi di bulan Juli dan Agustus 1947.
Selama waktu ini, ratusan ribu buruh dan petani menjadi anggota
atau mendukung PKI karena mereka kehilangan kepercayaan terhadap
para pemimpin burjuis dan karena mereka memandang PKI sebagai
partai revolusioner. Mereka juga terilhami oleh kemajuan-kemajuan
Partai Komunis Cina Mao Tse Tung dalam perangnya melawan Chiang
Kai-Shek. Dalam perang melawan Belanda, buruh dan petani menduduki
tanah dan bangunan-bangunan berulang-ulang dan serikat-serikat
buruh massa dibentuk.
Untuk menanggulangi perkembangan ini, pemerintahan Republik
Sukarno, yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang saat itu masih
Perdana Menteri (juga seorang anggota PKI rahasia), menandatangani
Perjanjian Renville di bulan Januari 1948 (dipanggil itu karena
ditandatangani di atas USS Renville). Perjanjian ini memberi Belanda
kekuasaan atas separuh pabrik-pabrik gula di Jawa, 75 percent
dari karet Indonesia, 65percent perkebunan kopi, 95 percent perkebunan
teh dan minyak bumi di Sumatra. Tambahan pula, penyelesaian yang
diimposisi oleh AS ini menyebutkan penarikan mundur pasukan-pasukan
gerilya dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda dan menciptakan
kondisi untuk pembubaran "unit-unit rakyat bersenjata"
yang dipimpin oleh PKI, dan untuk pembentukan "Angkatan Bersenjata
Nasional Indonesia" yang dipimpin oleh Sukarno dan jendral-jendralnya.
Di tahun 1948 aksi-aksi pemogokan menentang pemerintah Republik,
yang sekarang dipimpin oleh Wakil Presiden sayap-kanan Hatta sebagai
Perdana Menteri, dan menuntut sebuah pemerintahan berparlemen.
Aksi-aksi ini dipadamkan oleh Sukarno yang mengimbau untuk penciptaan
"kesatuan nasional".
Pada saat yang sama, pemimpin PKI Musso yang sebelumnya diasingkan,
kembali dari Uni-Sovyet dan beberapa pemimpin-pemimpin penting
Partai Sosialis Indonesia dan Partai Buruh Indonesia menyatakan
bahwa mereka adalah anggota-anggota rahasia PKI selama bertahun-tahun.
Pernyataan ini menunjukkan basis dukungan untuk PKI yang jauh
lebih besar dari yang sebelumnya diperkirakan oleh kekuatan-kekuatan
imperialis.
Di bulan Juli 1948 pemimpin-pemimpin burjuis, termasuk Sukarno
dan Hatta mengadakan pertemuan rahasia dengan wakil-wakil AS di
Sarangan di mana AS menuntut, sebagai bayaran bantuan ke pemerintah,
pengadaan pemburuan anggota-anggota PKI dalam angkatan bersenjata
dan pegawai-pegawai pemerintah. Hatta, yang juga masih Menteri
Pertahanan, diberi $10 juta untuk melakukan "pemburuan merah"
Dua bulan setelah itu, dalam sebuah percobaan untuk menghancurkan
PKI, Peristiwa Madiun dilakukan di Jawa. Beberapa perwira angkatan
bersenjata, anggota-anggota PKI, dibunuh dan yang lainnya menghilang,
setelah mereka menentang rencana-rencana untuk membubarkan kesatuan-kesatuan
gerilya angkatan bersenjata yang berada di garis depan perang
melawan Belanda.
Pembunuhan-pembunuhan ini menimbulkan pemberontakan di Madiun
yang ditekan secara berdarah oleh rejim Sukarno. Perdana Menteri
Hatta menyatakan hukum darurat. Ribuan anggota PKI dibunuh, 36,000
dipenjara dan pemimpin PKI Musso dan 11 pemimpin penting yang
lainnya dihukum mati.
Konsul-Jendral AS Livergood menelegram atasannya di AS mengatakan
bahwa dia telah memberitahu Hatta bahwa "krisis ini memberikan
pemerintahan Republik kesempatan untuk menunjukkan tekadnya untuk
menekan komunisme."
Terbesarkan hatinya karena pogrom anti-komunis itu, Belanda
menjalankan serangan militer baru di Desember 1948, menangkap
Sukarno. Tetapi perlawanan yang meluas memaksa Belanda untuk menyerah
dalam waktu enam bulan.
Meskipun begitu, konperensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag
membebankan pengkhianatan-pengkhianatan baru atas rakyat Indonesia,
melibatkan konsesi-konsesi yang lebih besar dari kelas burjuis
Indonesia.
Pemerintah Sukarno setuju untuk mengambil alih hutang-hutang
koloni dan menjamin perlindungan untuk modal milik Belanda. Belanda
mendapat Irian Barat dan Republik Indonesia tetap harus bekerja
sama dengan imperialis Belanda dalam Netherlands-Indonesian Union.
Pemerintah Sukarno tetap mempertahankan hukum-hukum kolonial.
Angkatan bersenjata baru didirikan dengan menggabungkan tentara-tentara
Belanda yang berasal dari Indonesia ke dalam "Angkatan Bersenjata
Nasional". Dalam kata lain aparatus dan hukum-hukum kolonial
lama dipertahankan dibalik aling-aling pemerintahan parlemen di
republik yang baru.
Kepemimpinan PKI mendukung pengkhianatan perjuangan pembebasan
nasional itu dan berusaha untuk membatasi kelas buruh dan petani
ke dalam perjuangan-perjuangan yang damai dan "demokratis".
Ini adalah terusan dari posisi PKI selama Perang Dunia Kedua ketika
kepemimpinan PKI (dengan Partai Komunis Belanda) mengikuti arahan
Stalin untuk bekerja sama dengan imperialis Belanda melawan Jepang
dan menyerukan untuk sebuah "Indonesia merdeka dalam Persemakmuran
Belanda". Ini tetap menjadi politik PKI meskipun selama perjuangan
setelah Perang Dunia Kedua melawan Belanda.
Untuk rakyat Indonesia, kepalsuan "kemerdekaan" di
bawah dominasi imperialisme Belanda, Amerika dan dunia yang berlangsung
makin menjadi jelas. Hasil-hasil alam, industri-industri penting,
perkebunan-perkebunan dan kekuatan keuangan tetap dipegang oleh
perusahaan-perusahaan asing.
Contohnya, 70 percent lalu-lintas laut antar kepulauan masih
dipegang oleh perusahaan Belanda KPM dan salah satu bank Belanda
terbesar, Nederlandche Handel Maatschappij, memegang 70 percent
dari semua transaksi keuangan Indonesia.
Menurut perhitungan pemerintah Indonesia, di pertengahan tahun
1950an, modal Belanda di Indonesia berharga sekitar $US 1 milyar.
Pemerintah Sukarno mengatakan bahwa meskipun jika mereka ingin
menasionalisasikan kemilikan Belanda, mereka tidak mempunyai cukup
uang untuk menggantikan kerugian bekas penguasa-penguasa kolonial
itu. Dan untuk menasionalisasikan tanpa ganti-rugi adalah komunisme.
Ketidakpercayaan rakyat tercermin di pemilihan umum 1955 ketika
jumlah kursi yang dipegang PKI meningkat dari 17 ke 39.
Dalam waktu dua tahun pergerakan rakyat akan meletus dalam
penyitaan pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank, toko-toko
dan kapal-kapal milik Belanda, Amerika dan Inggris.
BAB KEDUA
Para Stalinis Mengkhianati Pergerakan Massa
Pada bulan Desember 1957 dominasi imperialisme atas ekonomi
Indonesia tergoncang oleh pergerakan massa kaum buruh dan petani.
Pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank dan kapal-kapal
laut banyak yang dirampas dan diduduki.
Rejim burjuis Sukarno bisa bertahan hanya karena pemimpin-pemimpin
Stalinis Partai Komunis Indonesia (PKI) menyabot pergerakan massa
itu, dengan menegaskan bahwa para buruh dan petani harus menyerahkan
semua yang sudah mereka sita kepada pasukan-pasukan angkatan bersenjata
yang dikirim oleh Sukarno, dengan dukungan AS, untuk mengontrol
situasi itu.
Kabar di New York Times tanggal 8 Desember 1957 memberi gambaran
tentang keluasan dan kekuatan pergerakan itu: "Pergerakan
pekerja-pekerja di Jakarta, sejauh kita dapat menentukan, terjadi
tanpa ijin pemerintah, dan berlawanan dengan kata-kata Perdana
Menteri Djuanda, Kepala angkatan bersenjata Jendral Abdul Haris
Nasution dan pejabat-pejabat pemerintah yang lainnya, yang mengatakan
bahwa pergerakan itu tidak dapat diterima dan orang-orang yang
terlibat akan dihukum berat...
"Ketiga bank milik Belanda di sini, the Netherlands Trading
Society, the Escompto dan the Netherlands Commercial Bank, diambil-alih
oleh delegasi-delegasi pergerakan itu. Mereka membacakan proklamasi
di depan kawan-kawan seperjuangan yang penuh semangat dan kemudian
di depan para administrator-administrator dari Belanda, mengatakan
bahwa atas nama Asosiasi Pekerja Indonesia mereka merampas bank-bank
ini dan mulai saat itu akan menjadi milik Republik Indonesia."
Surat kabar Belanda "Volksrant" mengabarkan dengan
nada khawatir pada tanggal 11 Desember 1957:"Di Jakarta para
Komunis terus mengibarkan bendera-bendera merah di atas perusahaan-perusahaan
milik Belanda...Hari ini kantor pusat Philips dan Societe D'Assurances
Nillmij di Jakarta diduduki oleh orang-orang Indonesia di bawah
pimpinan perserikatan buruh Komunis."
Pergerakan ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa. Menurut "New
York Herald-Tribune" tanggal 16 Desember:"Pekerja-pekerja
di bawah SOBSI, perserikatan buruh sentral yang didominasi oleh
para Komunis, merampas toko-toko roti Belanda dan bank-bank di
Borneo (Kalimantan)." Koran "New York Times" pada
hari yang sama mengabarkan bahwa di Palembang, ibukota Sumatra
Selatan, "pasukan-pasukan keamanan menahan sejumlah pekerja,
anggota serikat buruh yang dikontrol oleh para Komunis, karena
mereka bertindak tanpa ijin menyita tiga perusahaan Belanda. Tigapuluh
tujuh bendera merah yang mereka naikkan di depan rumah-rumah pegawai-pegawai
Belanda perusahaan-perusahaan tersebut telah disita."
Surat-surat kabar kapitalis yang lain mengabarkan "situasi
anarki di Bali" dan menurut pemilik perkebunan Belanda yang
sedang melarikan diri, di Aceh dan Deli, di pantai selatan Sumatra,
pergerakan rakyat bukan hanya ditujukan ke perusahaan-perusahaan
Belanda, tetapi juga ke perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika.
Kabar-kabar serupa juga datang dari Sumatra Utara, Sulawesi dan
pulau-pulau lainnya.
Ada juga kabar-kabar bahwa pergerakan-pergerakan ini menimbulkan
perlawanan di Papua New Guinea (Irian Timur) yang diduduki oleh
Australia. Di Karema, duapuluh orang terluka ketika orang-orang
pribumi melawan anggota-anggota pasukan keamanan setelah seorang
jururawat pribumi mengatakan bahwa dia merasa dihina.
Pemberontakan di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap panggilan
dari Sukarno untuk mengadakan pemogokan umum terhadap perusahaan-perusahaan
Belanda. Sebelum itu ia juga berbicara tentang penasionalisasian
perusahaan-perusahaan milik Belanda pada sebuah pidato umum. Tujuan
Sukarno adalah untuk menggunakan ancaman penasionalisasian sebagai
cara untuk menekan Belanda untuk meninggalkan Irian Barat, yang
tetap dibawah Belanda setelah Konperensi Meja Bundar di tahun
1949, supaya Indonesia dapat mengambil-alihnya.
Dalam usahanya untuk mengimbangkan keserakahan imperialisme
Belanda, Amerika dan Inggris; ketidakpuasan massa yang tertindas
dan berkembangnya kekuatan militer dengan dukungan Amerika - yang
makin lama makin menjadi andalan rejimnya, Sukarno berusaha menggunakan
tekanan dari rakyat untuk menekan imperialisme Belanda.
Para buruh mulai merampas dan menduduki perusahaan-perusahaan
Belanda tanpa suruhan. Sukarno sama sekali tidak mengharapkan
tanggapan seperti ini. Ia langsung memberi anggota-anggota militernya
ijin untuk mengambil-alih perusahaan-perusahaan itu dari para
buruh.
Biro Politik PKI bergegas membantu Sukarno dengan mengeluarkan
resolusi untuk mengimbau rakyat untuk memecahkan secepatnya dengan
perundingan perbedaan pendapat tentang cara-cara perjuangan melawan
imperialisme Belanda, dengan demikian persatuan rakyat, antara
rakyat, pemerintah dan angkatan bersenjata dapat diperkuat."
Bersamaan dengan itu, PKI mengimbau para pekerja "jangan
hanya menjalankan perusahaan-perusahaan yang diduduki, tetapi
buat mereka bekerja lebih displin dan lebih baik dalam meningkatkan
produksi.
"Pemerintah harus mengambil keputusan yang mampu dan patriotis
untuk perusahaan-perusahaan ini, dan para pekerja harus menunjang
keputusan ini dengan seluruh kekuatan mereka."
Tambahan pula, PKI menegaskan bahwa pengambil-alihan itu hanya
berlaku terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, mencoba menentramkan
hati imperialisme AS dan Inggris dengan mengatakan bahwa kepentingan
mereka tidak akan terganggu:"Semua pergerakan-pergerakan
buruh, petani dan organisasi-organisasi pemuda ditujukan ke kapitalis-kapitalis
Belanda. Negara-negara kapitalis yang lainnya tidak bersikap bermusuhan
dalam perang antara Belanda dan Indonesia di Irian Barat. Karena
itu, tidak ada aksi terhadap perusahaan kapitalis-kapitalis dari
negara lain."
Mengenali usaha-usaha PKI untuk mematahkan pergerakan massa,
Tillman Durdin menulis di "New York Times" tanggal 16
Desember:"Anggota-anggota Badan Penasehat National yang berorientasi
Komunis diketahui telah menentang dengan tegas penyitaan-penyitaan
yang dilakukan oleh para pekerja dan mengatakan bahwa pergerakan-pergerakan
itu adalah 'anarko-sindikalisme' tak berdisiplin. Para Komunis
membela program penyitaan yang dilangsungkan oleh pemerintah seperti
sekarang ini.
Sukarno sendiri telah bersiap-siap meninggalkan negara untuk
sebuah "liburan" di India, tetapi penyerahan perusahaan-perusahaan
Belanda kepada pihak militer di bawah instruksi PKI telah menyelamatkan
rejim burjuis Sukarno. Para pemimpin Stalinis dalam PKI tidak
hanya menyelamatkan pemerintah Sukarno, mereka menimbulkan kondisi
yang mengijinkan jendral-jendral militer dan penyokong mereka
di AS untuk mempersiapkan kontra-revolusi berdarah mereka delapan
tahun setelah itu.
Perspektif para pemimpin PKI adalah teori Stalinis "revolusi
dua tahap" _ yang mengatakan bahwa perjuangan untuk sosialisme
di Indonesia harus pertama melalui tahap apa yang dinamakan kapitalisme
"demokratis". Perjuangan revolusi massa untuk memperlakukan
langkah-langkah sosialis harus ditekan dan kepentingannya dikebawahkan
ke sebuah "persatuan" dengan kelas burjuis nasional.
Sejalan dengan perspektif reaksioner ini, birokrasi-birokrasi
Stalinis di Uni-Sovyet dan Cina mengelu-elukan Sukarno dan rejimnya
di dalam period ini. Sebagai contoh, Kruschev mengunjungi Jakarta
dan berkata bahwa ia akan memberi Sukarno semua bantuan dalam
"segala kemungkinan". Kenyataannya, sebagian besar senjata-senjata
yang digunakan dalam pembunuhan massa dalam kudeta 1965 adalah
disediakan oleh Kremlin.
Permulaan Persiapan Militer
Di tahun 1956 tentara Indonesia, dengan sokongan Amerika, sudah
memulai persiapan-persiapan untuk diktatur militer untuk menekan
pergerakan rakyat. Di bulan Agustus Komandan militer daerah Jawa
Barat memerintahkan penangkapan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani
atas tuduhan-tuduhan korupsi. Di bulan November, Wakil Kepala
angkatan bersenjata Kolonel Zulkifli Lubis, mencoba dengan kegagalan
untuk menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintahan Sukarno.
Bulan berikutnya, ada kudeta militer di daerah Sumatra Tengah
dan Utara.
Pada bulan Oktober 1956 Sukarno memperkuat kedudukannya terhadap
rakyat dan menenangkan angkatan bersenjata dengan mengimbau partai-partai
politik untuk membubarkan diri. Imbauan ini setelah itu diperluas
dengan usaha untuk mendirikan Dewan Nasional yang mencakup semua
partai, termasuk PKI, untuk mengatur negara. Bilamana para kepala
daerah militer menolak rencana ini, dan mengambil-alih kekuasaan
provinsi-provinsi mereka, Sukarno mengumumkan keadaan darurat.
Akhirnya, kabinet "non-partai" yang baru dibentuk, termasuk
dua pengikut PKI.
Sebagai reaksi terhadap pergerakan massa di Desember 1957 itu,
operasi imperialisme Amerika segera ditingkatkan. CIA sudah aktif
sejak tahun 1940-an, mengeluarkan jutaan dollar untuk menyubsidi
elemen-elemen pro-Amerika di dalam kelas burjuis nasional, terutama
Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sumiro, kolega Hatta,
dan sekutu islamnya yang lebih besar, Partai Masyumi yang dipimpin
oleh Syarifuddin Prawiranegara, dengan siapa Hatta juga mempunyai
hubungan dekat.
Sepanjang tahun 1957 dan 1958 serangkaian pemberontakan sesesesionis
dan sayap-kanan yang dibantu oleh CIA meletus di pulau Sumatra
dan Sulawesi yang kaya minyak bumi, di mana PSI dan Masyumi mempunyai
pengaruh dominan.
Yang pertama adalah pemberontakan militer Permesta yang mulai
di bulan Maret 1957 dan berlangsung sampai ke tahun 1958, yang
berakhir dengan percobaan kudeta yang didukung oleh CIA di bulan
February 1958.
Pemerintah Amerika Serikat memberikan dukungan keuangan yang
cukup besar, penasehat-penasehat militer, senjata dan angkatan
udara kecil yang terdiri dari pesawat-pesawat pembom B-26, dipiloti
dari basis-basis di Taiwan dan Filipina. Menteri Luar Negeri AS
bahkan memberikan dukungan secara terbuka untuk pemberontak-pemberontak
sayap-kanan ini. Kapal induk dari armada ketujuh Amerika dikirim
ke Singapor dan sewaktu itu kelihatannya Amerika bakal campur-tangan
secara langsung di Sumatra dengan alasan melindungi pegawai-pegawai
dan pemilikan-pemilikan Caltex Oil.
Komando militer Indonesia akhirnya memutuskan bahwa pemberontakan
itu, gagal mendapatkan dukungan massa, harus dihentikan. Pemerintahan
Sukarno selamat.
Tetapi, angkatan bersenjata menjadi lebih kuat. Selama enam
tahun berikutnya, AS menuangkan uang untuk itu, meletakkan fondasi
yang mengijinkan Suharto untuk mulai menempuh jalan ke kekuasaaan
setelah memimpin operasi militer untuk mengambil-alih Irian Jaya
di tahun 1962.
Antara tahun 1959 dan tahun 1965 Amerika Serikat memberikan
64 juta dollar dalam rupa bantuan militer untuk jendral-jendral
militer Indonesia. Menurut laporan di Suara Pemuda Indonesia:"Sebelum
akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalion
angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer
sayap-kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira
tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan
rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional
di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja,
bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah
besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang
mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah
"negara bebas".
Pada waktu yang sama, Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi
Terpimpin"-nya. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan
dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali
lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan
bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi
yang penting.
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan
hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan
Konsepsi yaitu antara nasionalisme, Islam dan komunisme yang dinamakan
NASAKOM.
Dalam mengejar front nasional mereka bersama dengan Sukarno
dan kelas burjuis nasional, para pemimpin PKI menimbulkan ilusi-ilusi
yang sangat berbahaya tentang angkatan bersenjata.
Hanya lima tahun sebelum kekalahan berdarah itu terjadi kepada
para pekerja dan petani di tangan angkatan bersenjata, arahan
politis PKI dinyatakan oleh kepemimpinan SOBSI, federasi serikat
pekerja yang dipimpin oleh PKI, dalam sebuah pernyataan di Hari
Buruh Internasional bulan Mei 1960:
"SOBSI menegakkan bahwa angkatan bersenjata Republik masih
merupakan anak dari revolusi rakyat...dan dengan itu dari para
perwira sampai ke bawahan mereka dan ke tentara-tentara...mereka
tidak akan terlibat dengan aksi-aksi yang mengkhianati Republik.
Selain itu, presiden Sukarno, yang memihak rakyat, mempunyai pengaruh
besar atas pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata dan ia tidak
berkehendak menjadi diktator militer."
Pergerakan Baru
Di tahun 1962, perebutan militer Irian Barat oleh Indonesia
mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung
penekanan perlawanan penduduk Irian Jaya terhadap pendudukan itu.
Di Indonesia sendiri, ketegangan ekonomi dan kelas yang mendasar,
yang diakibatkan oleh berlanjutnya pemerasan rakyat oleh perusahaan-perusahaan
imperialis dan kelas burjuis nasional, muncul kembali.
Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara
kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan
independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah
politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun,
foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat
dan militer menjadi wabah.
Dari tahun 1963 terus, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha
menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi
dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan
bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI D N
Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi".
Pada bulan April 1964, dalam interview dengan S M Ali dari
"Far Eastern Economic Review" Aidit menetapkan untuk
kaum burjuis nasional perspektif Stalinis untuk perubahan yang
damai dan berangsur-angsur ke arah sosialisme yang terdiri dari
"dua tahap" di Indonesia.
"Bila kita sudah mencapai tahap pertama dari revolusi
kita, yang sedang berlangsung sekarang, kita akan bisa mengadakan
konsultasi yang damai dengan elemen-elemen progresif lain di masyarakat
kita dan tanpa perjuangan bersenjata kita akan membawa negara
kita ke revolusi sosialis."
Dia memberikan sebuah senario di mana rakyat akan terbatas
dalam fungsi mempengaruhi kaum burjuis nasional:"Pengaruh
dari tahap sekarang dari revolusi ini akan menetapkan pengaruh
revolusioner atas kapitalis-kapitalis nasional Indonesia.
"Tidak akan ada perjuangan bersenjata kecuali bila ada
intervensi asing memihak para kapitalis. Dan bila kita berhasil
menyelesaikan tahap ini dalam revolusi demokratik nasional kita,
kemungkinan satu kekuatan asing bercampur-tangan dalam urusan
nasional Indonesia akan menjadi sangat kecil."
Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI
membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada
angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak
merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan
besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.
Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI
mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan
kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama
dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.
Dalam sebuah pertemuan Komite Sentral PKI Aidit mendorong penindasan
pergerakan para petani itu dan mencela kader partai yang "terbawa
oleh semangat untuk menyebar-luaskan pergerakan petani dan menjadi
tidak sabar dan melakukan tindakan heroisme individual, tidak
berpikir untuk mengembangkan kesadaran para petani dan menginginkan
suatu kejadian yang tertentu, tidak berhati-hati dalam memisahkan
dan memilih target-target mereka."
Para pemimpin PKI menghalalkan pemberhentian perampasan tanah
dan pengembalian ke pemilik-pemiliknya dengan menunjuk kepada
"kemungkinan yang akan datang untuk pembentukan "kabinet
NASAKOM".
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan
karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan
memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral
militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para tukang
jagal militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus
mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata
adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan
bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan
dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik
Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".
Dengan cara ini, para Stalinis dalam PKI melucuti para pekerja
dalam PKI yang paling sadar akan kelasnya. Pengertian dasar Marxis
tentang negara sebagai "badan orang-orang bersenjata"
yang digunakan oleh kelas penguasa untuk menjaga kekuasaannya
telah disangkal secara kriminal.
Aidit berusaha secepatnya untuk menenangkan kaum burjuis dan
pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata bahwa PKI menentang mobilisasi
revolusioner massa. "Hal yang penting di Indonesia sekarang
bukanlah meruntuhkan kekuatan negara seperti halnya di negeri-negeri
lain, tetapi memperkuat dan mendalamkan aspek pro-rakyat...dan
menyingkirkan aspek anti-rakyat".
Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan
melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan
karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama sebelum kudeta terjadi, PKI, mengetahui dengan jelas
persiapan-persiapan untuk rejim militer, menyatakan keperluan
untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan
bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata.
Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri
untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan
PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin
mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.
Mereka bahkan menyembah di depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan mereka bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit
menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi"
angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama
untuk menciptakan "angkatan kelima". Sampai akhir, kepemimpinan
PKI berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia.
Meskipun di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi
bahwa aparatus militer dan negara sedang dirubah untuk memecilkan
aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara:
"Kekuatan dari aspek-aspek pro-rakyat (dalam aparatus
negara) sudah bertambah kuat dan mempunyai inisiatif dan ofensif,
dan aspek anti-rakyat, walaupun masih cukup kuat, sedang terpojok.
PKI berjuang supaya aspek pro-rakyat akan menjadi bertambah kuat
dan akan berkuasa dan aspek anti-rakyat akan dikeluarkan dari
kekuasaan negara."
Kaum buruh Indonesia dan seluruh dunia membayar mahal untuk
pengkhianatan Stalinis ini waktu Suharto dan jendral-jendral militer
bergerak pada tanggal 30 September 1965.
BAB KETIGA
1965-Warisan Berdarah Stalinisme
Kudeta di Indonesia tanggal 1-2 Oktober 1965 adalah hasil dari
sebuah operasi yang sudah lama direncanakan secara hati-hati oleh
CIA dan komandan-komandan militer TNI yang dilatih oleh AS.
Selama tahun 1965 perselisihan-perselisihan antara kelas meningkat.
Tahun itu mulai dengan para petani merampas pemilikan para tuan
tanah besar dan pekerja-pekerja di perusahaan-perusahaan karet
dan minyak bumi milik AS melakukan aksi pendudukan. Presiden Sukarno
telah memasukkan jendral-jendral militer, yang dipimpin oleh Jendral
Nasution, dan kepemimpinan PKI ke dalam kabinetnya untuk menekan
pergerakan ini.
Kepemimpinan PKI berhasil menekan aksi-aksi pendudukan, tetapi
pergerakan massa ini menjadi semakin sulit untuk dikendalikan.
Kemarahan massa berkembang dengan dipenjaranya 23 petani, dengan
hukuman antara 15 sampai 20 tahun, atas tuduhan memukuli seorang
tentara sampai fatal dalam mempertahankan diri mereka terhadap
operasi militer untuk menghentikan aksi-aksi perampasan tanah
di Sumatra.
Pada malam 30 September 1965, sebuah provokasi yang didalangi
CIA dilaksanakan. Sekelompok perwira menengah, yang paling sedikit
satu mempunyai koneksi dekat dengan Suharto, menahan dan membunuh
komandan angkatan bersenjata Letnan-Jendral Ahmad Yani dan lima
jendral tingkat atas yang lain, dan menyatakan pembentukan sebuah
Dewan Revolusioner.
Penculikkan jendral-jendral ini tidak mencakup dua orang penting.
Yang pertama adalah Suharto, yang pada waktu itu adalah komandan
Kostrad, yang terdiri dari tentara-tentara elit angkatan darat.
Para pemberontak ini, yang dipimpin oleh Letnan-Kolonel Untung
tidak berusaha sedikit pun untuk menangkap Suharto atau menyerang
pusat komandonya di Jakarta walaupun ia mempunyai kemampuan untuk
melaksanakan hal ini. Menteri Pertahanan Jendral Nasution, juga
tidak dicakup. Dia dikatakan sebagai calon korban pemberontakan
ini, tetapi dapat menyelamatkan diri secara ajaib.
Pemberontakan oleh Untung ini adalah palsu. Dalam 24 jam Suharto
dapat mengalahkan semua pemberontak ini, hampir tanpa ada peluru
melayang, dan mengambil-alih kontrol di Jakarta, dengan dukungan
dari Nasution.
Di akhir minggu itu, komando yang dibentuk oleh Suharto membersihkan
semua kantong-kantong perlawanan, dan melaksanakan pembantaian
anti-komunis terbesar di sejarah yang didalangi oleh Kedutaan
AS dan CIA. Pentagon dan CIA, yang pada waktu itu sudah terlibat
dalam perang rahasia di Vietnam, bertekad untuk menenggelamkan
revolusi Indonesia dalam darah.
Diplomat-diplomat AS dan perwira-perwira CIA, dipimpin oleh
Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, bekerja sama dengan
tukang-tukang jagal Suharto untuk membasmi setiap anggota dan
pendukung PKI yang diketahui.
Bencana yang Didalangi CIA
Dalam mempersiapkan kudeta ini, pejabat-pejabat AS sudah menghabiskan
paling sedikit dua tahun untuk membuat daftar-daftar maut ini
yang diberikan kepada angkatan bersenjata dengan instruksi yang
jelas: bunuhlah semuanya. Anak-buah Suharto diperintahkan untuk
melapor kembali setiap sejumlah pembunuhan telah dilaksanakan
supaya nama-nama korban mereka dapat dicocokkan dengan nama-nama
di daftar-daftar itu.
Beberapa perwira-perwira AS yang berikut-serta mengatakan baru-baru
ini apa yang terjadi. "Itu adalah bantuan yang besar untuk
angkatan bersenjata," kata seorang bekas pejabat bagian politik
di Duta Besar AS di Jakarta, Robert Martens. "Mereka mungkin
membunuh banyak orang dan saya mungkin punya darah di tangan saya,
tetapi itu tidak semuanya jelek."
"Suatu waktu kamu harus memukul keras pada waktu yang
tepat."
Martens memimpin pejabat-pejabat CIA dan Departemen Luar Negeri
di kedutaan besar AS, yang dari tahun 1962, menyusun keterangan
mendetil tentang siapa saja yang duduk di dalam kepemimpinan PKI.
Itu termasuk nama-nama anggota komite-komite PKI di tingkat provinsi,
kota dan lokal; dan pemimpin-pemimpin perserikatan-perserikatan
kerja yang didukung PKI, dan perserikatan-perserikatan wanita
dan pemuda.
Operasi ini didalangi oleh bekas direktur CIA William Colby,
yang pada waktu itu adalah direktur Divisi Asia Timur CIA, dan
dengan itu menjadi bertanggung-jawab atas pengarahan strategi
rahasia AS di Asia. Colby mengatakan bahwa mencari pengetahuan
tentang kepemimpinan PKI menjadi latihan untuk program Phoenix
di Vietnam, yang merupakan usaha untuk memusnahkan semua pendukung
Front Kemerdekaan Nasional di akhir dekade 1960-an.
Colby mengakui bahwa mengecek nama-nama di daftar-daftar maut
itu dianggap sangat penting sampai itu diawasi oleh direktorat
intelijen CIA di Washington. "Kita berkesimpulan bahwa dengan
perlakuan secara keji seperti itu, PKI telah mengalami kemunduran
yang besar."
Wakil kepala pos CIA menggambarkan dengan rasa senang yang
tak tersembunyi bagaimana markas Suharto di Jakarta memberikan
kedutaan besar AS laporan secara berlanjut tentang pencakupan
dan pembunuhan pemimpin-pemimpin PKI. "Kita mendapatkan laporan
yang jelas di Jakarta tentang siapa yang dicakup. Angkatan bersenjata
mempunyai 'daftar penembakan' untuk sekitar 4,000 sampai 5,000
orang.
"Mereka tidak punya cukup tentara untuk membinasakan mereka
semua, dan beberapa orang masih berharga untuk diinterogasi. Rangka
dasar organisasi mereka telah runtuh hampir seketika itu. Kita
tahu apa yang mereka kerjakan. Kita tahu bahwa mereka akan menyelamatkan
beberapa untuk pengadilan pura-pura mereka, tetapi Suharto dan
penasehat-penasehatnya berkata bila kamu biarkan mereka hidup
kamu harus memberi mereka makan."
Semua ini dijalankan dengan persetujuan Green yang setelah
itu dilantik menjadi duta besar AS untuk Australia, di mana ia
memainkan peranan penting dalam pembubaran pemerintah Whitlam
di tahun 1975.
Paling sedikit satu juta orang dibantai dalam bencana enam
bulan yang mengikuti kudeta itu. Ini adalah perkiraan dari sebuah
kelompok lulusan Universitas Indonesia yang diperintah oleh angkatan
bersenjata itu sendiri untuk menyelidiki kesebar-luasan pembunuhan-pembunuhan
ini.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda
dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan
massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan
bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat
sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Laporan lain mengatakan bahwa di Batu di Jawa Timur banyak sekali
yang dibunuh di halaman kecil kantor polisi di sana sampai mayat-mayat
itu dikubur di bawah semen.
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI,
paling sedikit 35,000 orang menjadi korban di permulaan 1966.
Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesianya
Sukarno, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden
khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat
di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang
desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani
meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh
teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota
besar pemburuan-pemburuan anti-cina terjadi. Pekerja-pekerja dan
pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai
protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan
di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih
dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi
masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak
tahun 1980-an. Baru-baru ini empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino,
Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum
mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu, tanda jelas bahwa rejim
Suharto masih menakuti kebangkitan kaum proletar Indonesia dan
petani-petani yang miskin.
Pengkhianatan Stalinis mendalam
Ketika ratusan ribu anggota dan pendukung PKI sedang diburu
dan dibinasakan, kepemimpinan PKI dan rekan-rekannya di Kremlin,
Beijing dan Partai Komunis Australia (CPA) menganjurkan kader
PKI, pekerja dan massa petani untuk tidak melawan, memberikan
lampu hijau untuk jendral-jendral militer untuk melakukan eksekusi
massa itu.
Para Stalinis mendalamkan posisi reaksioner mereka yang meminta
rakyat untuk mengebawahkan kepentingan mereka untuk kaum burjuis
nasional dan Sukarno, yang digunakan oleh Suharto sebagai presiden
boneka dan untuk angkatan bersenjata.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral
PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
"pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan
Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan
"persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan
bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro
Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota
dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin
revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune":
"Setelah mempelajari seruan ke Panglima Tertinggi angkatan
bersenjata Republik Indonesia, dari pemimpin revolusi Indonesia,
presiden Sukarno, Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis Indonesia
menyatakan dukungan penuh untuk seruan itu dan memohon kepada
semua komite dan anggota partai dan para pendukung, juga organisasi-organisasi
revolusioner massa yang dipimpin oleh anggota-anggota PKI untuk
memungkinkan pelaksanaan seruan itu."
Sementara itu, Sukarno, "pemimpin revolusi Indonesia",
sedang bekerjasama dengan penindasan militer itu berharap untuk
menyelamatkan lehernya sendiri. Dia memerintahkan pembasmian menyeluruh
semua yang dianggap terlibat dalam "peristiwa 30 September"
(percobaan kudeta yang dituduhkan dipimpin oleh Kolonel Untung),
dan mengijinkan pencakupan dan pembunuhan pemimpin-pemimpin PKI.
Pada tanggal 15 Oktober ia melantik Suharto sebagai Panglima angkatan
bersenjata.
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno
memberi Suharto kekuasaan tak terbatas. Ia memerintah Suharto
untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk
mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi
dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan
oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya,
Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer
itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan
rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap
dan dihukum mati oleh angkatan bersenjata pada tanggal 24 November,
tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Dalam sebuah interview dengan seorang koresponden koran Jepang
dia menekankan:
"PKI hanya mengenal satu kepala negara, satu komandan
tertinggi, satu pemimpin besar revolusi kita - Presiden Sukarno...Presiden
Sukarno menyatukan semua kekuatan-kekuatan rakyat yang akan memutuskan
nasib Indonesia."
Semua anggota, kata Nyoto, harus "mendukung penuh perintah-perintah
Presiden Sukarno dan berjanji untuk melaksanakan semua itu tanpa
ragu...Partai kita berusaha dalam segala kemampuannya untuk mencegah
perang saudara."
Dalam kata-kata lain, sementara tukang-tukang jagal militer
dan penasehat-penasehat CIA mereka sedang melakukan likuidasi
sistematis bukan saja pemimpin-pemimpin PKI, tetapi juga seksi-seksi
masyarakat Indonesia yang paling sadar-kelas, PKI memerintahkan
kader mereka untuk tidak melawan.
Kebangkrutan dan kebusukan teori "dua-tahap" Stalinis
yang bersikeras bahwa rakyat harus mengikat nasib mereka ke Sukarno
dan kaum burjuis nasional tidak dapat ditunjukkan secara lebih
jelas.
Pengkhianatan oleh PKI dipuji dan didukung oleh birokrasi-birokrasi
Stalinis di Moskow dan Beijing. Kremlin menyalahkan elemen-elemen
"pemberontak" dan "petualang" dalam PKI untuk
kekalahan ini dan mengimbau berulang-ulang untuk "persatuan"
revolusi Indonesia dalam NASAKOM-nya Sukarno.
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet
Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno:"Kita
dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan
anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang
pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap
tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti
secara mendalam."
Dalam sebuah Konperensi Tiga Benua di Havana di bulan February
1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka
untuk menghindari pengutukan teror kontra-revolusi yang sedang
terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan
pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi
pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh"
atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet
dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara
Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha
para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September,
dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan
di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Demikian, pengkhianatan para Stalinis adalah sangat jelas sampai
parlemen piaraan junta militer ini dapat mengatakan bahwa kejadian
yang diatur oleh CIA pada tanggal 30 September adalah percobaan
kontra-revolusioner!
Para Stalinis di Beijing juga mencuci tangan mereka dari nasib
rakyat Indonesia. Mereka bahkan datang ke Jakarta untuk Konperensi
Dunia melawan Pangkalan-Pangkalan Asing dan berdiri tanpa protes
waktu kamerad-kamerad mereka dari Indonesia sedang dicakup di
dalam ruang konperensi itu.
Warisan 'Blok Empat Kelas'
Pengkhianatan Stalinis di tahun 1965 adalah puncak dari lebih
dari duapuluh tahun pengkhianatan di mana PKI, bekerja berdasarkan
teori Stalinis "dua-tahap" dan, khususnya, ideologi
Maois "blok empat kelas", mengikat kelas pekerja dan
para petani ke rejim burjuis nasionalis Sukarno.
Aidit mengatakan susunan ideologi kekalahan berdarah revolusi
Indonesia tidak lama setelah kembalinya dari 18 bulan di Cina
di Juli 1950 dan merebut kepemimpinan PKI:
"Kelas pekerja, para petani, kelas menengah dan kelas
burjuis nasional harus bersatu dalam sebuah front nasional."
Aidit mengikuti dengan patuh jalan rejim Maois di Cina yang
menindas pergerakan mandiri kelas pekerja dan berusaha untuk mendirikan
sebuah "Demokrasi Baru", sebuah negara burjuis, dalam
kerjasama dengan bagian-bagian dari kelas burjuis nasional dan
kelas petit burjuis setelah runtuhnya diktatur Chiang Kai-Shek.
Membeokan Mao, dia menyerukan untuk sebuah "demokrasi
rakyat" dan sebuah "front gabungan semua elemen-elemen
anti-imperialis dan anti-feodal dalam negeri. Yaitu, kaum pekerja,
para petani, kaum petit-burjuis dan kaum burjuis nasional."
Sesuai dengan teori kontra-revolusioner "dua-tahap"
Stalinisme, "Tugas dari persekutuan ini adalah untuk membawa
keadaan untuk, bukan sosialisme, tetapi perubahan ke arah demokrasi."
Aidit memminta para pekerja dan petani mendukung bukan hanya
kelas burjuis nasional, tetapi juga "semua elemen patriotik
dan anti-kolonial termasuk kelompok tuan-tanah sayap kiri (agak
progresif).
Jurusan inilah, yang dikatakan oleh Aidit tanpa henti, yang
digunakan untuk menekan pergerakan-pergerakan kaum pekerja dan
para petani, mengikat kaum pekerja ke rejim Sukarno, dan menciptakan
keadaan yang mengijinkan angkatan bersenjata untuk menyerang.
Berkali-kali anggota-anggota dan para pendukung PKI diperintahkan
untuk menahan perjuangan kelas dan semangat revolusi rakyat yang
tertindas untuk mempertahankan "front bersatu nasional".
"Prinsip dasar yang harus kita ikuti dalam melancarkan
perjuangan nasional adalah membawahkan kepentingan rakyat untuk
perjuangan nasional."
Teori "dua-tahap" Stalinisme bersikeras bahwa di
negara-negara koloni dan semi-koloni seperti Indonesia, rakyat
tidak boleh mengadakan pergerakan-pergerakan yang mengancam kelas
burjuis nasional atau mengemukakan program revolusi sosialis.
Perjuangan kelas harus ditahan untuk mendukung kelas burjuis nasional
dan mendirikan sebuah demokrasi kapitalis nasional.
Akibat kontra-revolusi berdarah dari arahan Stalinis ini menunjukkan
diri pertama kali di Cina di tahun 1926-27 ketika tukang jagal
Chiang Kai-Shek menundukkan kelas pekerja di Cina setelah Partai
Komunis di sana diberi perintah oleh Kremlin untuk menggabungkan
diri dengan kaum burjuis nasionalis dalam Kuomintang.
Pembunuhan-pembunuhan besar yang dilakukan oleh Chiang Kai-Shek
menegaskan peringatan-peringatan Trotsky bahwa kaum-kaum burjuis
yang lemah dan yang munculnya terlambat dalam sejarah, pada dasarnya
tidak dapat untuk melancarkan perjuangan konsisten terhadap imperialisme
dan feodalisme. Itu karena untuk melakukan perjuangan itu diperlukanlah
penggerakan rakyat dalam sebuah perjuangan revolusioner dan perjuangan
seperti itu akan segera menjadi berlawanan dengan posisi kelas
kaum burjuis nasional sebagai pemeras kaum pekerja dan petani.
Seperti Trotsky jelaskan dalam tulisannya tentang pengkhianatan
Revolusi Cina:
Penggerakan kaum pekerja dan petani terhadap imperialisme hanya
dapat dicapai dengan menghubungkan isu-isu dasar dalam kehidupan
mereka dengan tujuan kemerdekaan negara. Sebuah aksi mogok pekerja
- besar atau kecil - sebuah pemberontakan agraris, pergerakan
para rakyat tertindas di kota dan desa terhadap para lintah-darat,
terhadap birokrasi, terhadap militer lokal, semua itu membangkitkan
banyak hal, yang menggalang mereka bersama, yang mendidik, menguatkan,
adalah merupakan sebuah langkah maju yang nyata di jalan ke pembebasan
sosial dan revolusioner untuk rakyat Cina...Tetapi segala yang
membuat rakyat yang tertindas dan tereksploitasi bertindak akan
pasti akan mendorong kaum burjuis nasional ke dalam blok dengan
para imperialis. Bentrokan kelas antara kaum burjuis dan para
pekerja dan petani tidak akan diperlemah, tetapi sebaliknya akan
diperkuat oleh penidasan imperialis, sampai ke perang saudara
pada setiap ketegangan serius. (Trotsky, Problems of the Chinese
Revolution, New Park 1969 p5).
Peranan kriminal PKI dalam mengikat rakyat Indonesia ke rejim
burjuis Sukarno membuat analisa Trotsky bersifat ramalan secara
tragis.
Tugas-tugas untuk mengadakan kemerdekaan nasional yang sejati,
pembagian kembali tanah, demokrasi dan perkembangan ekonomi yang
tak terselesaikan di Indonesia dan negeri-negeri lain yang tertindas
menurut sejarah, hanya dapat dilaksanakan dengan kelas pekerja
memimpin para petani dalam revolusi sosialis. Yaitu, penentuan
nasib sendiri hanya akan terjadi sebagai hasil tambahan dari revolusi
sosialis yang dipimpin oleh kaum proletar.
Kemenangan perjuangan ini terikat erat dengan perkembangan
revolusi sosialis dunia untuk menggulingkan imperialisme sedunia.
Ini adalah dasar dari teori Marxis Revolusi Permanen yang dikembangkan
oleh Leon Trotsky dan dibuktikan oleh kemenangan Revolusi Rusia
Oktober 1917.
BAB KEEMPAT
Antek-Antek Kontra Revolusi Pablois
Dalam bulan-bulan setelah kudeta militer yang diatur oleh CIA
tanggal 1-2 Oktober 1965, semua anggota dan pendukung PKI, semua
partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan
petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp
konsentrasi untuk disiksa dan diinterogasi.
Pemusnahan sistematis dan penindasan yang kejam oposisi kelas
buruh ini semakin bertambah setelah 11 Maret 1966 waktu Sukarno,
pemimpin nasionalis burjuis yang dipertahankan oleh aparat militer
sebagai presiden, memberi Jendral Suharto kekuasaan tak terbatas.
Pengkhianatan pergerakan besar revolusioner rakyat Indonesia
oleh kepemimpinan Stalinis PKI adalah sebuah kekalahan yang mendalam
dengan implikasi-implikasi besar untuk kelas pekerja seluruh dunia.
PKI berkali-kali menahan usaha-usaha para pekerja dan petani
untuk menduduki pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan. Mereka
mengikat pergerakan ini dengan rejim burjuis Sukarno dan pada
akhirnya bergabung dengan aparat-aparat tingkat atas militer yang
didukung AS, calon-calon tukang jagal massa, dalam kabinet Sukarno.
Setelah kudeta itu, para Stalinis memerintah kader mereka untuk
menjalankan imbauan Sukarno untuk menciptakan "persatuan"
dengan para aparat militer dan untuk mencegah segala perlawanan
terhadap pembantaian yang sedang dilaksanakan.
Pukulan terhadap revolusi Indonesia bergema di seluruh Asia
dan dunia. Khususnya itu memudahkan dan memungkinkan peningkatan
penyerangan Vietnam oleh AS, menghancurkan harapan dan semangat
revolusi rakyat di Malaysia, Thailand, Filipina dan memperkuat
rejim-rejim burjuis yang sedang goyah di anak benua India.
Mandel dan Hansen menutupi pengkhianatan Stalinis
Tetapi jawaban para revisionis Pablois dalam "Sekretariat
Tergabung" (United Secretariat) yang dipimpin oleh Ernest
Mandel dan Joseph Hansen, adalah untuk meremehkan akibat dari
pengkhianatan di Indonesia itu, menutupi peran kontra-revolusioner
para Stalinis dan, yang terpenting, menutupi tanggung-jawab mereka
sendiri dalam pertumpahan darah ini.
Pada saat rakyat Indonesia sedang mengalami pembunuhan massa,
Profesor Mandel berusaha untuk menggambarkan prospek-prospek yang
cerah untuk revolusi Indonesia, untuk menumpulkan kesadaran kelas
pekerja internasional.
"Tentu saja perjuangan di Indonesia masih belum berhenti,"
tulisnya di dalam keenakkan kursi universitas Belgia-nya dalam
artikel yang dicetak dalam jurnal Pablois "World Outlook"
tanggal 11 Maret 1966.
"Sebagian dari kader komunis telah berhasil bersembunyi
di bawah-tanah," dia teruskan. "Kemarahan rakyat yang
kelaparan tumbuh setiap hari; perut-perut para pekerja dan petani
yang kosong tidak akan terisi oleh pembunuhan-pembunuhan itu.
Pemberontakan itu akan menyebar-luas melawan rejim yang korup
itu. Sukarno mengerti masalah ini dan akan memulai pengimbangannya
lagi; dia baru saja membasmi jendral-jendral yang paling ganas
dari kabinetnya. Para rakyat akan kembali mendapat giliran mereka
untuk beraksi."
Penutupan pengkhianatan besar rakyat Indonesia ini menunjukkan
konsekuensi kontra-revolusioner oportunisme Pablois, yang muncul
dalam jajaran gerakan Trotskyis mulai dari tahun-tahun 1940-an
ke 1950-an.
Dipimpin oleh Michel Pablo, elemen-elemen seperti Mandel berusaha
menyesuaikan diri dengan stabilisasi kapitalisme setelah Perang
Dunia Kedua dan keadaan dimana birokrasi-birokrasi Stalinis yang
menekan pergerakan revolusioner kaum pekerja internasional tidak
lama setelah akhir Perang Dunia Kedua, kelihatannya makin kuat.
Mereka meninggalkan perjuangan Trotsky untuk mendirikan Internasional
Keempat sebagai partai dunia revolusi sosialis dan mangajukan
bahwa para birokrasi Stalinis seperti di Moskow dan Bejing akan
didorong oleh rakyat untuk melakukan peranan progresif. Dengan
dasar ini, mereka berusaha melikuidasi Internasional Keempat ke
dalam segala bentuk Stalinis atau Demokrat sosial yang sedang
memegang kendali pergerakan pekerja dalam tiap negara, mengatakan
bahwa jalan ke sosialisme terdiri dari pendirian dari negara-negara
pekerja yang cacat sejak lahir, seperti yang didirikan di Eropa
Timur dan Cina, yang berlangsung selama beberapa abad.
Pada tahun 1953 arah likuidasi ini dilawan dengan pembentukan
Komite Internasional Internasional Keempat (International Committee
of the Fourth International) sebagai jawaban kepada sebuah Surat
Terbuka yang ditulis oleh pemimpin Partai Pekerja Sosialis (Socialist
Workers Party) Amerika James P Cannon yang memanggil untuk pemertahanan
"Trotskyisme ortodox". Bagaimanapun juga, pada permulaan
tahun 1960-an para pemimpin PPS sendiri mulai terpengaruh oleh
berkepanjangannya pertumbuhan ekonomi setelah perang. Mereka menganjungkan
elemen-elemen burjuis dan petit-burjuis nasional seperti Castro
di Kuba yang kelihatannya dapat meraih sukses, sebagai pengganti
pengambilan kekuasaan oleh kelas pekerja yang dipimpin oleh partai-partai
Marxis revolusioner. Mereka mengajukan bahwa sosialisme dapat
dicapai dengan "senjata tumpul". Ini adalah arah yang
menyatukan mereka kembali dengan para Pablois di tahun 1963 yang
menjadi "Sekretariat Tergabung".
Dasar dari penolakan para Pablois kepada revolusi kaum proletar
adalah metoda obyektifis yang bersifat reaksioner ywng menggambarkan
perjuangan sosialisme sebagai "proses sejarah" quasi-otomatis
yang dicapai dengan pergerakan massa spontan yang dipimpin oleh
pergerakan politik apa saja, tidak penting apa program dan komposisi
kelasnya.
Dengan begitu "rakyat" Indonesia akan menang bagaimanapun
buruknya krisis pimpinan yang telah diakibatkan oleh kebusukan
partai Stalinis itu. Sukarno, yang diperalat oleh Jendral Suharto
tanpa perlawanan, dianggap telah mengontrol jendral-jendral yang
paling ganas. Dan setelah pengkhianatan yang tak tertanding itu,
Mandel masih memanggil PKI partai "komunis".
Penipuan oleh Mandel ini disahkan oleh "Sekretariat Tergabung"
dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan tanggal 20 Maret 1966.
Pernyataan itu menyimpulkan bahwa kenaikan Suharto sebagai "orang
kuat" dari gerakan kontra-revolusi tidak berarti banyak,
karena "Itu adalah kemungkinan yang sangat kecil bahwa para
kontra-revolusionis yang berkuasa di Jakarta sekarang akan dapat
menciptakan kestabilan yang dapat tahan lama."
Duapuluh lima tahun setelah itu, dengan junta militer Suharto
masih duduk tanpa kasihan di atas punggung jutaan rakyat Indonesia
yang tertindas, itu sangatlah penting untuk mempelajari bagaimana
para oportunis Pablois memberikan PKI dan Sukarno kerudung politik
yang sangat mereka perlukan.
Pernyataan "Sekretariat Tergabung" itu menciptakan
ilusi yang berbahaya yang mengatakan bahwa pembunuh-pembunuh dibawah
Suharto pun, yang dilatih oleh AS, akan terdorong untuk melaksanakan
kepentingan rakyat Indonesia dalam "konfrontasi" palsu
Sukarno dengan Malaysia, negara yang pada saat itu baru dibentuk:
"Para pemimpin militer sendiri tidak akan menanggalkan ke-anti-imperialisme-an
dan ke-nasionalis-an mereka yang menunjukkan konflik kepentingan
yang nyata dengan imperialisme Inggris dan kaum burjuis komprador
dan tuan tanah semi-feodal yang berkuasa di Malaysia.
Ketika rakyat Indonesia tidak punya pemimpin dalam menghadapi
penjagalan keji Suharto, para Pablois menyatakan dengan angkuh
bahwa entah bagaimana rakyat akan menang.
"Rakyat, walaupun tanpa pemimpin dan tergoncang secara
mendalam, belum kehilangan semua potensi perlawanan, khususnya
di desa-desa. Mengusir para pemogok dari perkebunan-perkebunan
milik imperialis atau yang sudah "dinasionalisasi" dan
dijalankan oleh perwira-perwira militer yang korup, atau memaksa
para pekerja perusahaan minyak bumi dan perkebunan untuk menerima
kembali kondisi kerja jaman kolonial akan terbukti sulit terjadi."
Yang terpenting, para Pablois terus bersikeras bahwa rakyat
harus percaya kepada para pemimpin Stalinis PKI, mengajukan bahwa
mereka dapat dipengaruhi untuk memainkan peranan revolusioner,
meskipun mereka sudah menahan setiap pergerakan massa terhadap
rejim Sukarno.
"Jika mereka berhasil bergabung kembali dan mendapat kembali
dukungan massa di beberapa daerah pedesaan dengan mengimbau para
petani untuk segera menyita tanah milik para tuan-tanah, perkebunan
dan adminstrasi militer, mereka dapat mencapai keuntungan secara
bertahap karena ketidak-mampuan dari reaksi Indonesia untuk memecahkan
nasib ekonomi dasar negara dan karena perselisihan dalam jajaran
angkatan bersenjata yang tanpa ragu akan dibangkitkan oleh ketidak-mampuan
itu."
Di tahun 1957, dan sekali lagi di tahun 1964-65, PKI telah
mengarahkan para pekerja dan petani untuk menyerahkan pabrik-pabrik,
bank-bank, instalasi-instalasi minyak, perkebunan-perkebunan dan
perusahaan-perusahaan lain yang mereka duduki, yang membantu kedudukan
Sukarno dan kaum burjuis Indonesia. Sekarang, para Pablois mengatakan
bahwa mereka dapat memainkan peranan progresif.
Artikel Mandel dan pernyataan "Sekretariat Tergabung"
dicetak bersama dengan artikel oleh seorang anggota PKI Pablois,
oleh Partai Pekerja Sosialis AS dalam sebuah pamflet bernama "Bencana
di Indonesia" tertanggal Desember 1966. Lengkap dengan sebuah
kata awal oleh Joseph Hansen, seorang pemimpin PPS yang memainkan
peranan busuk dalam pergabungan kembali dengan para Pablois. Hansen,
yang setelah itu diungkapkan sebagai agen Stalinis yang menjadi
alat FBI dalam PPS, merupakan penghasut utama dalam perpecahan
PPS dari KIIK di tahun 1963. Hansen berusaha untuk menenangkan
para pembaca pamflet ini bahwa "salah satu ciri politik dunia
sekarang" adalah "kecepatan rakyat untuk dapat memulihkan
diri dari kekalahan-kekalahan yang dulunya akan membuat mereka
tunduk selama puluhan tahun."
Ketidakperdulian para Pablois kepada nasib rakyat Indonesia
bukan hanya hasil dari ketebalan kulit dan sikap merendahkan kelas
pekerja mereka, yang merupakan ciri-ciri golongan petit-burjuis,
tetapi juga merupakan usaha mereka untuk menutupi faktor kritis
dalam pengkhianatan di Indonesia - peranan yang dimainkan oleh
para Pablois dan wakil-wakil mereka di Indonesia sendiri.
Itu adalah ukuran dari sinisme para Pablois dan sikap tunduk
mereka kepada para Stalinis dan kaum burjuis nasional bahwa tidak
satupun dari artikel-artikel dan pernyataan-pernyataan yang dicetak
dalam pamflet mereka di tahun 1966 menyebut keberadaan sebuah
badan anggota dari "Sekretariat Tergabung" di Indonesia,
apalagi menerangkan peranan badan itu dalam kejadian-kejadian
sebelum kudeta.
Hanya ada satu pernyataan pendek untuk pelegalisasian dan pembebasan
semua anggota PKI, Partai Murbah dan Partai Acoma, meskipun Partai
Akoma mempunyai hubungan dengan para Pablois sedikitnya mulai
tahun 1953 dan disahkan sebagai seksi "Sekretariat Tergabung"
di tahun 1960, ketika PPS Amerika sedang meningkatkan manuver-manuver
tak berprinsip mereka untuk bergabung kembali dengan para Pablois.
Penyebutan pendek tentang anggota-anggota mereka ini adalah
pernyataan bersalah oleh para Pablois untuk menyembunyikan peranan
yang mereka dan anak-anak didik mereka mainkan dalam memberi Stalinis-Stalinis
PKI kepercayaan yang sangat mereka perlukan di tahun-tahun 1950an
dan 1960an.
Bagaimana Munculnya Pabloisme di Indonesia
Partai Acoma berasal sebagai pecahan dari PKI di tahun 1948.
Dengan memanggil diri mereka Trotsyis tanpa kebenaran, mereka
menjadi pengalih dan penjebak oposisi kelas pekerja dan para petani
terhadap dukungan yang diberikan PKI untuk rejim burjuis nasional
Sukarno. Dipimpin oleh seorang anggota parlemen bernama Ibnu Parna,
dokumen-dokumen program mereka menggambarkan PKI sebagai sebuah
partai "Marxis-Leninis seperti kita." Sebagai kita akan
tunjukkan, ini adalah sebuah kebohongan dalam hal PKI dan Partai
Acoma.
Kebutuhan atas sebuah katup pengaman "Trotskyis"
palsu seperti itu, ditunjukkan oleh kejadian-kejadian di tahun
1948.
Keterlibatan PKI di dalam administrasi Sukarno setelah akhir
Perang Dunia Kedua dan dukungan mereka untuk perjanjian-perjanjian
busuk kaum burjuis Indonesia dan para kolonialis Belanda menimbulkan
oposisi kuat di kalangan kelas pekerja.
Dari 5 Juli 1947 sampai 23 January 1948 administrasi Republik
di bawah Sukarno dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang berjabatan
Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. Syarifuddin adalah anggota
rahasia PKI, juga Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri.
Tambahan pula, dua menteri lain adalah anggota PKI secara terbuka.
Administrasi ini menandatangani Perjanjian Renville dengan Belanda
yang menetapkan kekuasaan Belanda atas sebagian besar dari industri
gula, karet, kopi, teh dan minyak bumi; menentukan pengunduran
semua kesatuan-kesatuan perang gerilya dari semua daerah yang
dikuasai Belanda dan melikuidasikan kesatuan-kesatuan rakyat bersenjata
yang dipimpin PKI ke dalam ABRI yang di bawah Sukarno dan jendral-jendralnya.
Begitu kuatnya oposisi terhadap penandatanganan pakta yang
diadakan oleh AS ini sampai pemerintah turun dan diganti oleh
pemerintahan sayap-kanan yang dipimpin oleh Wakil Presiden Hatta
sebagai Perdana Menteri.
Aksi-aksi pemogokan meletus, menuntut pemerintahan parlemen.
Kepemimpinan PKI mendukung penekanan pergerakan ini oleh Sukarno,
yang mengimbau untuk pengadaan "kesatuan nasional".
Ketika pengkhianatan ini dilawan oleh sebuah bagian PKI, pemimpin-pemimpin
PKI menjawab dengan kejam, mengeksekusi pemimpin-pemimpin dari
faksi oposisi ini.
Partai Acoma muncul dari grup yang menentang ini. Walaupun
mereka tidak menyetujui tindakan kepemimpinan PKI, Partai Acoma
tetap berpendapat bahwa revolusi Indonesia harus dilakukan oleh
PKI sebagai sebuah "partai Marxis-Leninis". Selanjutnya
pemimpin-pemimpin Partai Acoma menjalin hubungan dengan "Sekretariat
Tergabung" yang mendorong posisi pro-Stalinis dan ilusi-ilusi
tentang Maoisme mereka.
Itu jelas bahwa Partai Acoma mengarahkan para pekerja dan petani
yang mencari jalan lain ke program kolaborasi antar-kelas PKI.
Dari tahun 1953 sampai 1955 misalnya, kekuatan pengaruh Acoma
dalam SAKTI, Asosiasi Petani Indonesia yang beranggotakan 200,000
orang, membuat kepemimpinan PKI menunda sampai dua tahun rencana
mereka untuk menggabungkan SAKTI dengan dua organisasi petani
lainnya yang di bawah pengaruh PKI, RTI dan BTI.
Para Pablois mempersiapkan pengkhianatan
Sebuah artikel yang dicetak bulan Februari 1958 dalam jurnal
Pablois "Quatrieme International" mengajukan sebuah
tuduhan yang jelas atas peranan yang dimainkan oleh Pabloisme
dalam melawan perjuangan untuk sebuah kepemimpinan Marxis Revolusioner
dalam kelas pekerja.
Artikel itu,"Revolusi Indonesia Bergerak Maju", oleh
Sal Santen, seorang kolega dekat Pablo, ditulis pada puncak pergerakan-pergerakan
revolusi di bulan Desember 1957, ketika para pekerja dan petani
merampas perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan milik
Belanda dan negara imperialis lainnya.
Artikel itu merupakan kerudung kriminal untuk peranan-peranan
kontra-revolusioner PKI, yang memerintahkan rakyat untuk mengembalikan
rampasan-rampasan mereka kepada angkatan bersenjata untuk mendukung
pemerintahan Sukarno.
Menurut Santen:"Itu mesti ditambahkan bahwa para pejuang
komunis, kader dasar dan biasa PKI dan SOBSI, organisasi besar
pekerja Indonesia, tidak memiliki sifat birokratis Aidit dan kawan-kawan.
Mereka ada di garis depan; mereka adalah yang mengambil alih inisiatip
dalam menduduki pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank
dan kapal-kapal laut. Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa yang
paling sadar-kelas antara mereka terbakar oleh api keberanian
revolusioner Tan Malaka, oleh ide-ide revolusi permanen Leon Trotsky."
Bertindak menurut arah ini, para Pablois Indonesia melucuti
secara politis puluhan ribu pekerja dan petani yang bergerak maju
untuk berjuang, hanya untuk menyadari bahwa jalan mereka dilintangi
oleh PKI. Pada saat di mana tugas yang paling penting adalah mendidik
para pekerja yang paling sadar-kelas dalam pentingnya sebuah perjuangan
tanpa kompromi melawan teori "dua tahap" dan "blok
empat kelas" Stalinis PKI, dan pentingnya sebuah penguatan
mendalam teori Revolusi Pemanen, para Pablois bekerja sebaliknya.
Oportunis secara mendalam, mereka menyamakan Trotsky dengan
Tan Malakka, pemimpin PKI yang menentang rencana untuk sebuah
pemberontakan di tahun 1926 dan meninggalkan PKI untuk mendirikan
organisasinya sendiri. Mereka memalsukan teori Revolusi Permanen
Marxis, merubah itu dari sebuah strategi sadar untuk memandu perjuangan-perjuangan
untuk diktatur kaum proletar menjadi sebuah perspektif yang terjadi
secara spontan.
Ajaran utama teori Revolusi Permanen Trostky adalah kekhianatan
kaum burjuis nasional dan ketidakmampuannya untuk memimpin perjuangan
sejati melawan imperialisme. Hanya kelas pekerja lah yang dapat
membebaskan rakyat dari penekanan atas kelasnya dan penekanan
nasional, dengan mengadakan revolusi sosialis dan menyatukan diri
mereka dengan saudara-saudara sekelas di seluruh dunia dalam sebuah
perjuangan untuk menggulingkan imperialisme secara internasional.
Perjuangan itu hanya dapat dilakukan secara sadar di bawah
panji-panji Internasional Keempat dalam sebuah perjuangan tanpa
kompromi melawan para Stalinis dan kekuatan-kekuatan petit-burjuis,
seperti para Pablois, yang mencoba melucuti kelas pekerja secara
politis dan mengikat kepada kaum burjuis mereka.
Di tangan para Pablois, program Revolusi Permanen menjadi alasan
untuk penyesuaian diri mereka kepada kaum burjuis nasional dan
para Stalinis. Kelas pekerja tidak memerlukan partai revolusioner
mereka sendiri untuk mengambil-alih kekuasaan karena PKI sedang
merupakan instrumen melalui apa Revolusi Permanen itu sedang dinyatakan,
walaupun secara tidak sadar.
Dengan demikian, Santen, berbicara untuk Pablo dan Mandel,
menyatakan: "Bagaimanapun juga itu adalah jelas bahwa Indonesia
secara menyeluruh sedang bergerak. Pergerakan rakyat sudah tidak
bisa dimundurkan -- walaupun proses itu tetap bertentangan --
dan sudah mencapai tahap kekuasaan rangkap di sebagian besar Indonesia,
terutama di Jawa. Pendudukan perusahaan-perusahaan, perkebunan-perkebunan,
armada dan bank-bank oleh rakyat hanya berarti satu: Itu adalah
tentang permulaan klasik revolusi proletar. Revolusi Indonesia
sedang dalam proses membobol batas-batas revolusi nasional di
bawah pimpinan kaum burjuis nasional. Itu berkembang menurut hukum-hukum
revolusi permanen." (Tekanan di dalam dokumen asli).
Para Pablois mengulurkan prospek sebuah perubahan secara damai
ke "kekuasaan pekerja dan petani":
"Sebuah kemenangan yang damai dan cepat revolusi itu ke
kekuasaan pekerja dan petani (terutama di Jawa) dapat dicapai,
bila PKI, pada saat pertama terdorong semangat rakyat, tidak berusaha
mengebiri aksi rakyat dengan meletakkannya di bawah kontrol pemerintah."
Apa yang dimaksudkan oleh para Pablois dengan "kekuasaan
pekerja dan petani" adalah bertentangan dengan perjuangan
untuk diktatur kaum proletar. Para Pablois berjajar sebagai penyorak
untuk perspektif kontra-revolusioner Stalinis "dua-tahap"
yang menuntut kaum proletar untuk menghentikan perjuangan untuk
revolusi sosialis.
Untuk menghalalkan pertentangan mereka terhadap penggerakan
mandiri kelas pekerja dan penempaan sebuah kepemimpinan revolusioner
proletar, yaitu, partai Trotskyis, para Pablois bersikeras bahwa
PKI, meskipun sudah mengkhianati aksi-aksi pendudukan di bulan
Desember 1957, akan terdorong ke kiri oleh rakyat:
"Pada saat yang sama, pada setiap perkembangan situasi,
rakyat mempunyai kecenderungan untuk mendorong SOBSI dan PKI lebih
jauh. Banyaklah yang sekarang tergantung pada keberanian, pada
pengertian Marxis revolusioner, kader-kader Komunis. Kita merasa
solider sepenuhnya dengan mereka, terilhami dan terantusiasi oleh
inisiatip mereka, keberanian mereka yang -- kita harap dengan
penuh semangat -- tidak akan berhenti karena tabu-tabu para Aidit.
Kita memberi hormat untuk kader-kader Trotskyis Indonesia yang
menggabung ke dalam PKI dengan perspektif revolusioner yang benar
bahwa radikalisasi rakyat akan terjadi terutama melalui PKI dan
SOBSI."
Ini adalah kejahatan terbesar Pabloisme -- pelikuidasian kader
Trotskyis, dan semua yang tertarik ke Trotskysime, ke dalam kamp
Stalinisme.
Santen menambahkan sebuah catatan untuk menekankan bahwa sikap
khianat ini dinyatakan dalam pertentangan secara langsung terhadap
perjuangan yang dilakukan oleh Komite Sedunia Internasional Keempat
sejak pembentukannya di tahun 1953 untuk mempertahankan Trotskysime
terhadap likuidasionisme Pablois. Santen secara khusus mencela
perjuangan KSIK untuk pendirian badan-badan bagian Internasional
Keempat untuk mengalahkan Stalinisme kontra-revolusioner:
"Bertentangan dengan beberapa orang `ortodoks` yang picik,
Internasional ini tidak membiarkan dirinya untuk terpesona oleh
politik reaksioner Stalinisme, tetapi mengarahkan dirinya, terutama
ke dinamisme situasi itu sendiri, sebuah dinamisme yang mendorong
rakyat dan melalui rakyat, PKI sendiri ke dalam pertentangan dengan
keadaan di Indonesia saat ini."
Kata-kata ini perlu dicapkan di pikiran setiap pekerja sebagai
ringkasan dari pekerjaan licik pro-Stalinis Pabloisme. Dalam pertentangan
langsung dengan KSIK, para Pablois secara sadar mendorong ilusi-ilusi
fatal dalam Stalinis-Stalinis PKI, tepat pada saat di mana masalah
yang sangat penting saat itu adalah untuk membeberkan peranan
kriminal para Stalinis dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan
rakyat secara mantap dari PKI untuk mendirikan sebuah kepemimpinan
Trotskyis revolusioner.
Perjuangan yang berkepanjangan dan yang berkeras Komite Internasional
Internasional Keempat (International Committee of the Fourth International)
melawan para oportunis Pablois, yang bertahun-tahun tampak sebagai
perjuangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil terpencil
dalam Internasional Keempat, menjadi masalah hidup mati untuk
jutaan buruh dan petani Indonesia.
Pembantu-pembantu kontra-revolusioner
Dalam waktu beberapa minggu dari penulisan kata-kata Santen,
buah-buah busuk dari pengkhianatan PKI atas pergerakan di bulan
Desember 1957 mulai muncul. Sebuah pemerintah kontra-revolusioner
dibentuk di Sumatra Tengah di bulan Februari 1958 oleh pemimpin
kudeta Kolonel Achmed Hussein dan dipimpin oleh Dr Syafruddin
Prawiranegara. Operasi yang didukung CIA ini, yang dimungkinkan
oleh pengebirian pergerakan Desember 1957 oleh PKI, merupakan
percobaan untuk kudeta yang akan terjadi tujuh tahun setelah itu.
Mengerti bahwa ini adalah percobaan untuk kontra-revolusi,
tanggapan para Pablois adalah untuk menambah pembesaran mereka
atas PKI. Editor Quatrieme International menambahkan sebuah
catatan yang berklimaks dengan kata-kata ungu berikut:
Karena tujuan utama para `pemberontak` adalah untuk menghancurkan
'demokrasi' terpimpin Sukarno, dalam mana PKI termasuk, maka kompromi
akan merugikan PKI. Dalam kasus ini, arahan jangka-pendek adalah
PKI di bawah tekanan rakyat, akan terpaksa melakukan pemutaran-balik
politik besar, seperti yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina
dalam situasi yang mirip di tahun 1949, dan untuk melewati tahap
nasionalis-burjuis dan langsung ke tahap sosialis kekuasaan pekerja.
Ini, sesungguhnya, tetapi sekali lagi tanpa pemberitahuan, bergerak
menurut dan membuktikan teori revolusi permanen Trotskyis."
Di situ, PKI, tukang gantung revolusi Indonesia digambarkan
sebagai instrumen tak sadar Revolusi Permanen!
Ditambahkan di situ, adalah kebohongan bahwa para Stalinis
Cina, guru Aidit dan pemimpin PKI yang lain, telah melakukan "tahap
sosialis dari kekuasaan pekerja" di tahun 1949. Kenyataanya
tentara-tentara petani para Maois menekan secara brutal pergerakan
proletar di tahun 1949, membunuh semua oposisi Trotskyis, dan
mendirikan sebuah negara pekerja yang cacat sejak lahir yang berdasarkan
atas perspektif Stalinis pengadaan kerjasama dengan kaum burjuis
nasional, kaum petit-burjuis urban dan para petani. Ini adalah
model yang merupakan dasar bagi kepemimpinan PKI sendiri.
Tidak puas dengan menganjungkan para Stalinis, catatan spesial
editor itu kemudian menunjukkan kemungkinan kelas burjuis-nasional
merubah diri secara progresif juga. Itu mengusulkan senario lain
yang berdasarkan atas pemerintah Sukarno memimpin perjuangan melawan
"pemberontak-pemberontak" yang diatur oleh CIA.
Dalam kemungkinan lainnya dimana pemerintah Sukarno memberikan
perlawanan dan pertahanan yang lebih kuat terhadap `para pemberontak`,
pemisahan yang lebih jauh antara kekuatan-kekuatan burjuis dan
kontra-revolusioner semi-feodal akan tampak; menghadapi sebuah
pemerintah bayangan nasionalis-burjuis dan rakyat. Konfrontasi
antara rakyat dan pemberontakan `pemilik budak` baru ini, `Kornilov
putsch` baru ini, akan menimbulkan gejolak baru revolusi, dan
pengalaman dari aksi revolusi semacam ini akan meninggalkan kemungkinan
kecil untuk sebuah rejim nasionalis-burjuis untuk kembali ke stabilitas."
Peristiwa-peristiwa Oktober 1965 akan membuktikan bahwa rejim
Sukarno tidaklah kurang ramah terhadap tukang-tukang jagal Suharto
dibandingkan dengan pemerintahan Kerensky terhadap kudeta Jendral
Kornilov di tahun 1917. Sukarno menunjukkan intisari nasionalisme
burjuis dengan mengakhiri karir politisnya sebagai presiden bonekanya
junta militer Suharto.
Kesimpulan dari catatan editor itu seharusnya ditulis di batu
nisan Pabloisme:"Dalam kasus yang mana saja, arahan optimistis
kita adalah benar. Revolusi Indonesia sedang maju! Kemenangannya
sebagai sebuah revolusi sosialis sedang terjadi.(Tekanan dalam
dokumen asli)
Dari tahun 1957 sampai 1965 para Pablois di seluruh dunia melakukan
penutupan obyektivis ini atas bahaya-bahaya yang menghadapi revolusi
Indonesia.
Pekerjaan dari organisasi bagian Pablois di Indonesia adalah
sangat penting untuk seluruh perspektif sedunia Pablois. Itu dibicarakan
secara intensif di yang dinamakan Kongres Dunia Kelima dari "Sekretariat
Tergabung" di tahun 1957.
"Kongres Dunia Kelima kita, dalam membicarakan kemajuan
dan jalur revolusi kolonial sedunia, memberikan perhatian serius
terhadap perkembangan-perkembangan di Indonesia. Mengenali situasi
Indonesia sebagai pra-revolusi, itu mengharapkan sebuah ledakan
revolusioner sebentar lagi." Kata artikel Santen.
Seluruh "Sekretariat Tergabung" Pablois mempunyai
tangan berdarah. Mereka membantu pengkhianatan Stalinis terhadap
pekerja-pekerja dan petani-petani Indonesia.
BAB KELIMA
Para Pablois menutupi kekhianatan Stalinis.
Krisis kepemimpinan kelas pekerja tidak pernah terungkap setajam
seperti di Indonesia antara tahun 1963 dan 1965.
Nasib para buruh dan petani Indonesia tergantung kepada penanggulangan
dan pengalahan arah kontra-revolusioner PKI yang mengikat kelas
pekerja ke rejim nasionalis-burjuis Sukarno ketika angkatan bersenjata,
dengan dukungan AS, mempersiapkan sebuah kudeta berdarah.
Stalinis-Stalinis PKI, dipimpin oleh sekretaris-jendral Aidit,
berulang-ulang menuntut para pekerja dan petani untuk mengembalikan
pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan yang telah mereka sita.
Mereka kemudian bergabung dengan jendral-jendral angkatan bersenjata
duduk dalam kabinet pemerintah Sukarno dan mendukung pelarangan
aksi-aksi mogok kerja.
Bertambah jelas kalau para jendral sedang mempersiapkan sebuah
kudeta berdarah, bertambah keras pemimpin-pemimpin PKI bekerja
untuk menenangkan kelas burjuis dan angkatan bersenjata bahwa
PKI menentang mobilisasi revolusioner rakyat.
Aidit berulang-ulang menyatakan bahwa aparatus negara di Indonesia
tidak perlu dihancurkan tetapi dapat dirubah dari dalam untuk
memperkuat "elemen-elemen pro-rakyat," yang termasuk
presiden Sukarno. Pemimpin PKI ini memberi ceramah-ceramah di
sekolah-sekolah militer di mana dia menggembar-gemborkan "perasaan
kebersamaan dan persatuan yang setiap hari bertambah kuat antara
seluruh angkatan bersenjata republik Indonesia dan kelompok-kelompok
lain rakyat Indonesia, termasuk para komunis."
Kepemimpinan PKI hanya dapat mengajukan posisi-posisi ini karena
para Pablois Indonesia bekerja sama kerasnya untuk mencegah para
pekerja memisahkan diri dari para Stalinis. Mereka menentang keras
pendirian sebuah kepemimpinan revolusioner yang baru.
Tanggung jawab untuk akibat kontra-revolusioner berdarah arahan
ini dapat diusut secara langsung ke Kongres Reunifikasi Pablois
di mana Partai Sosialis Pekerja (SWP) Amerika melakukan pemutusan
dengan Komite Internasional Internasional Keempat dan bergabung
dengan "Sekretariat Tergabung" Pablois Ernest Mandel.
Setelah memimpin perjuangan melawan likuidasionisme Pablois
di tahun 1953, para pemimpin SWP di akhir 1950an makin lama makin
menyerah ke tekanan perkembangan ekonomi cepat setelah Perang
Dunia Kedua yang berlangsung dan tampak ketenangan kaum buruh.
Mereka meninggalkan perjuangan untuk revolusi proletar yang dipimpin
oleh partai macam Bolshevik dan mencari "persatuan kembali"
dengan para radikal petit-burjuis dan Stalinis yang tidak puas.
Di tahun 1963 mereka bergandeng tangan dengan para Pablois dalam
menyatakan bahwa bukan saja partai-partai Stalinis, seperti PKI,
tetapi juga kekuatan-kekuatan nasionalis-burjuis di negara-negara
berkembang, seperti Castro di Kuba dan Sukarno di Indonesia dapat
menjadi sarana penyataan sosialisme.
Resolusi pemersatuan kembali ini menyatakan bahwa tidak ada
krisis kepemimpinan revolusioner di negara-negara tertindas: "Di
negara-negara kolonial dan semi-kolonial...kelemahan kapitalisme,
seluruh struktur sosio-ekonomis yang aneh yang dihasilkan oleh
imperialisme, kesengsaraan permanen sebagian besar populasi dalam
ketidakadaanya revolusi radikal agraris, stagnasi dan malah menurunnya
standar kehidupan sementara industrialisasi berjalan dengan cepat
secara relatip, menciptakan situasi-situasi di mana kejatuhan
satu gejolak revolusi tidak secara otomatik menciptakan stabilisasi
ekonomis dan sosial yang relatip atau sementara. Sebuah rentetan
perjuangan-perjuangan rakyat yang tampaknya tak ada habisnya terus
berlangsung, seperti dialami Bolivia selama 10 tahun."
Dalam kata lain, bagaimanapun menghancurkannya kekalahan-kekalahan
dan pengkhiatan-pengkhianatan yang dibebankan kepada rakyat, mereka
akan bangkit kembali. Tidak ada perlu untuk partai Trotskyis.
Sifat kriminal dari kepuasan diri oportunis ini akan segera ditunjukkan
dalam darah rakyat Indonesia.
Konperensi tahun 1963 ini didasarkan atas penolakan kepentingan
bersejarah pembangunan seksi-seksi pergerakan Trotskyis di negeri-negeri
terbelakang. Resolusi Pablois mengatakan:"Kelemahan musuh
di negeri-negeri terbelakang telah menciptakan kemungkinan untuk
merebut kekuasaan meskipun dengan instrumen tumpul."
Di Indonesia, "instrumen tumpul" ini adalah PKI.
Pengkhianatan besar di Sri Lanka
Kekhianatan Pablois di Indonesia adalah sangat berhubungan
dengan pengkhianatan besar di Sri Lanka di tahun 1964 ketika Partai
Lanka Sama Samaja (LSSP), organisasi Pablois, memasuki koalisi
burjuis Ibu Bandaranaike, bersama dengan para Stalinis Partai
Komunis Sri Lanka, untuk memenggal pergerakan massa kaum buruh
melawan kekuasaan kapitalis.
LSSP telah menentang pembentukan Komite Internasional di tahun
1953 dan mengikuti itu memainkan peranan penting dalam mempersiapkan
persatuan kembali SWP Amerika dengan para Pablois. Pertentangan
mereka terhadap perjuangan menentang oportunisme dalam Internasional
Keempat berakar di orientasi mereka yang makin bertambah nasionalis
dan peninggalan program dan prinsip-prinsip Trotskyis untuk mengakomodasi
para Stalinis dan partai kapitalis Bandaranaike SLFP di Ceylon
(Sri Lanka).
Konggres Reunifikasi Pablois di tahun 1963 menutupi oportunisme
nasional LSSP dengan mengajukan:"Seksi Ceylon kita sudah
perlahan-lahan membetulkan orientasi salah yang diadopsi di tahun
1960 yang mendukung pemerintahan burjuis-liberal SLFP. Sejak rakyat
mulai beraksi, mereka tidak ragu-ragu untuk menaruh diri mereka
di kepala pergerakan ini melawan sekutu elektoral mereka yang
kemarin." Hanya setahun setelah itu aling-aling "Trotskyis"
palsu yang diberikan oleh para Pablois digunakan oleh LSSP untuk
memasuki pemerintahan kapitalis.
Pengkhianatan oleh sebuah partai yang dianjung-anjungkan oleh
para Pablois sebagai "partai Trotskyis terbesar di dunia"
ini mempunyai akibat yang membawa bencana di seluruh dunia, yang
pertama di Indonesia. Itu memperkuat tangan partai-partai Stalinis
dan Maois, seperti PKI, yang kemampuannya untuk menekan dan melucuti
kaum buruh akan sudah hancur bila LSSP berpegang ke program revolusi
permanen dan berjuang untuk penggulingan kekuasaan burjuis di
Sri Lanka.
Pablois memperkuat PKI
Setelah masuknya seksi Sri Lanka mereka ke dalam pemerintahan
kapitalis itu, dengan para Stalinis, para Pablois terus mengikuti
arahan pro-Stalinis dan pro-burjuis-nasional yang sangat mirip
di Indonesia.
Pamflet Pablois "Bencana di Indonesia" bukan saja
menutupi peranan yang dimainkan oleh seksi Pablois Indonesia,
Partai Acoma, seperti kita ungkapkan di bagian terakhir seri ini.
Meskipun setelah kudeta berdarah di Indonesia, pamflet ini terus
mengajukan kemungkinan kelas burjuis-nasional dan PKI dapat memainkan
peranan progresif.
Itu termasuk sebuah artikel oleh T Soedarso, yang digambarkan
oleh pemimpin SWP AS Joseph Hansen dalam kata depan pamflet ini
sebagai "anggota muda PKI yang berhasil mengasingkan diri".
Hansen memuji secara bersemangat artikel Soedarso sebagai "tanda
dari tekad sebuah sektor penting dalam PKI untuk mempelajari apa
yang terjadi dan menggunakan pelajaran-pelajaran sehingga dapat
menjamin kemenangan bila rakyat bergejolak maju lagi, yang pasti
akan terjadi."
Artikel Soedarso melihat program kontra-revolusioner kepemimpinan
PKI sebagai sejumlah "kesalahan" termasuk "kekeliruan-kekeliruan...mencoba
mendirikan sosialisme dengan jalan damai" dan untuk mengikuti
"politik" teori revolusi dua tahap dan front tergabung
dengan kelas burjuis-nasional.
Soedarso tidak mengutarakan perbedaan-perbedaan yang mendasar
dengan para Stalinis, setuju, contohnya, bahwa "Pergerakan
revolusioner dapat dan sebaiknya mendukung sikap-sikap atau aksi-aksi
progresif kelas burjuis nasional." Kalau bukti pernah diperlukan
bahwa kelas burjuis semi-kolonial, dilambangkan oleh Sukarno,
adalah pada dasarnya tidak mampu untuk melakukan program "progresif"
tetapi akan mendukung pembantaian kelas pekerja, pertumpahan darah
itu memberikannya. Selama 18 bulan Sukarno menjadi presiden boneka
diktatur Jendral Suharto, dan setelah itu, mulai dari Maret 1967,
dia dipertahankan sebagai "presiden tanpa kekuasaan".
Para Pablois juga meremehkan pentingnya pemasukan PKI ke dalam
koalisi NASAKOM Sukarno dengan para tukang jagal militer. Soedarso
mengimbau PKI untuk membalik arahan ini, sepertinya itu hanyalah
sebuah kesalahan kecil.
Peminta maafan Soedarso untuk kekhianatan kelas mendasar ini
bukanlah kebetulan. Inti dari Pabloisme adalah pembalikan perjuangan
Trotsky melawan Stalinisme. Evolusi Stalinisme menjadi sebuah
birokrasi kontra-revolusioner ditetapkan tanpa keraguan di tahun
1933 ketika Komintern (Internasional Komunis) Stalinis menyetujui
tanpa ada suara perlawanan satu pun kekhianatan Partai Komunis
Jerman yang menyerahkan kelas buruh Jerman kepada Hitler tanpa
adanya peluru melayang. Mulai dari saat itu Trotsky bersikeras
bahwa Internasional Ketiga telah secara pasti menyeberang ke kamp
burjuis, dan bahwa Internasional Keempat harus dibangun sebagai
partai dunia revolusi sosialis untuk memastikan kelangsungan Marxisme.
Artikel Soedarso adalah sebuah penutupan secara sadar, yang
diatur oleh Mandel dan Hansen, atas peranan reaksioner Stalinisme.
Artikel itu secara sadar tidak menggunakan kata "Stalinisme",
tetapi secara curang memanggil PKI "Komunis". Dan kemudian
untuk membuat posisinya sangat jelas, Soedarso menyimpulkan:"Kecaman
di atas tidaklah dimaksudkan untuk merusak peranan PKI atau untuk
membangkitkan ketidakpercayaan kepada Komunisme Indonesia."
Demikian, setahun setelah kudeta militer itu, pada saat mana
satu juta pekerja dan petani sudah binasa, para Pablois sedang
menutupi pelajaran-pelajaran tahun 1965 dan masih menganjurkan
para pekerja dan petani Indonesia untuk tetap mempercayai PKI.
`Pelajaran-Pelajaran` Pablois Indonesia
Artikel Soedarso bukanlah sebuah contoh terisolasi. Kenyataannya
arah yang diajukan di artikel itu memberikan tema-tema penting
sebuah pernyataan yang diterbitkan tanggal 20 Maret 1966 oleh
"Sekretariat Tergabung" Pablois. Berjudul "Pelajaran-Pelajaran
Indonesia", itu menentang segala pemisahan dari PKI dan tidak
mengeluarkan panggilan untuk pembangunan sebuah seksi Internasional
Keempat. Sebaliknya, itu menyatakan bahwa "Komunis-Komunis
Indonesia" dapat "menanggulangi akibat dari kekalahan
saat ini" dengan mengasimilasi pelajaran-pelajaran tertentu.
"Pelajaran" pertama diajukan secara berikut:"Walaupun
itu benar dan penting untuk mendukung semua pergerakan-pergerakan
rakyat anti-imperialis, dan bahkan mendukung secara kritis semua
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh wakil-wakil kelas burjuis
kolonial seperti Sukarno, untuk sebuah revolusi kolonial mendapat
kemenangan, itu adalah sangat penting untuk mempertahankan kemandirian
organisasi-organisasi proletar secara politis maupun secara keorganisasian
dari kelas burjuis nasional."
Para Pablois bukan hanya mendorong ilusi-ilusi berbahaya tentang
kepura-puraan "anti-imperialis" kelas burjuis nasional,
kata-kata mereka tentang "kemandirian" politis organisasi-organisasi
proletar adalah penuh dengan kepalsuan. Kemandirian politis kelas
pekerja hanyalah dapat ditetapkan dengan membangun sebuah partai
Trotskyis dalam perjuangan yang berani dan tak mengenal kasihan
melawan para Stalinis yang sedang dicoba untuk disadarkan oleh
para Pablois.
"Pelajaran" Pablois kedua mengajukan bahwa: "Meskipun
itu benar dan penting dalam fase-fase pertama revolusi di negara-negara
terbelakang untuk menekankan masalah pemenangan kemerdekaan nasional,
mempersatukan negara dan menyelesaikan masalah agraris (yaitu,
tugas-tugas bersejarah dari revolusi demokratis burjuis yang merupakan
masalah yang paling penting di mata 80 percent sampai 90 percent
populasi), itu adalah sangat penting untuk mengerti bahwa penyelesaian
tugas-tugas ini hanyalah mungkin bila kelas buruh, dalam persekutuan
dengan para petani miskin, telah memenangkan kepemimpinan revolusi,
mendirikan diktatur proletar dan petani miskin dan mendorong revolusi
itu ke fase sosialisnya."
Dengan arah oportunis "dua fase", para Pablois mencoba
untuk menghidupkan kembali teori "dua-tahap" Stalinis
yang telah kehilangan kepercayaan, yang menuntut "fase sosialis"
revolusi ditunda sampai selesainya revolusi demokratis dan nasional.
Arahan para Pablois adalah kebalikan dari teori Revolusi Permanen
Trotsky yang didasarkan atas sifat internasional revolusi sosialis
dan peranan revolusioner proletariat internasional. Trotsky menekankan
pelajaran inti dari Revolusi Rusia bahwa, dalam jaman ini, tugas-tugas
demokratis dan nasional di negara-negara terbelakang dan tertindas
hanya dapat dicapai melalui revolusi proletar dan penyebarannya
ke seluruh dunia.
Seruan para Pablois untuk "diktatur proletar dan para
petani miskin" mencoba untuk menghidupkan kembali formula
"Bolshevik Lama" tentang "diktatur demokratis proletar
dan petani" yang diganti oleh Lenin di tahun 1917. Lenin
mengadopsi posisi Trotsky yang tegas bahwa proletariat adalah
kelas revolusioner satu-satunya yang dapat memimpin para petani
dan melaksanakan tugas-tugas demokratis dan sosialis negara-negara
terbelakang sebagai bagian dari perjuangan kelas buruh seluruh
dunia.
"Pelajaran" ketiga yang diajukan oleh para Pablois
adalah:"Meskipun itu adalah penting untuk memenangkan basis
rakyat seluas mungkin di desa-desa, sebuahpartai revolusioner
yang dapat melaksanakan politik ini haruslah berdasarkan atas
kader proletar kuat yang dididik secara menyeluruh dalam teori
dan praktek revolusioner Marxis."
Sifat ganda dari "pelajaran" ini dapat dilihat dari
kenyataan bahwa itu ditujukan kepada para Stalinis. Penyebutan-penyebutan
"kader proletar kuat" dan "teori Marxis" adalah
palsu.
Kenyataannya, "Sekretariat Tergabung" menasehatkan
anggota-anggota kepemimpinan PKI yang selamat untuk mengambil
jalan perang gerilya di daerah pedesaan.
Pernyataan mereka menunjukkan harapan bahwa "apa yang
tertinggal dari kepemimpinan dengan kader-kader partai yang selamat
-- terutama yang berpendidikan terbaik, mereka yang dikuatkan
oleh pengalaman mengerikan yang mereka alami dalam enam bulan
terakhir -- akan mengambil jalan perang gerilya, jika hanya untuk
pertahanan diri.
Mereka menganjurkan para Stalinis untuk berbelok ke perang
gerilya yang menggunakan para petani, meniru para Maois di Cina.
Maoisme adalah semacam Stalinisme, berdasar atas permusuhan para
petani terhadap kekuasaan kelas buruh. Berasal dari kekalahan
revolusi Cina dan penghancuran keanggotaan buruh Partai Komunis
Cina di tahun 1926-27, pembelokan Mao ke arah para petani menghasilkan
aborsi di tahun 1949 revolusi Cina. Itu menghasilkan negara buruh
yang sangat cacat di kelahirannya yang berdasarkan atas "blok
empat kelas" Mao -- kelas burjuis nasional, kelas petit-burjuis
urban, petani dan kelas buruh.
Itu adalah doktrin ini yang memandu kebulatan tekad Aidit dari
kepemimpinan PKI untuk mencegah sebuah revolusi sosialis proletar
di Indonesia. Dalam kata-kata Aidit: "Kelas buruh, petani
dan kelas petit-burjuis dan kelas burjuis nasional haruslah bergabung
dalam satu front nasional".
Pamflet para Pablois adalah percobaan sinis untuk mengalihkan
para buruh yang sadar akan kelasnya dari pelajaran yang paling
penting dari pengkhianatan di Indonesia -- pentingnya untuk sebuah
partai Trotskyis untuk mengalahkan para Stalinis dan pembantu-pembantu
Pablois mereka yang berfungsi sebagai agen-agen petit-burjuis
kontra-revolusioner dalam pergerakan rakyat. Hanya ada satu partai
revolusioner, dulu dan sekarang, yang dapat membalas pengkhianatan
di tahun 1965 dengan membimbing kelas buruh Indonesia ke kekuasaan
-- sebuah seksi Indonesia Komite Internasional Internasional Keempat.
Kesimpulan
Di tahun 1951 kepemimpinan PKI telah menggambarkan secara jelas
jalan pengkhianatan yang akan diikutinya. "Dalam perjuangan
untuk menyatakan pendapat politis mereka, para komunis tidak akan
menggunakan kekerasan sementara kelas penguasa masih membiarkan
jalan damai, keparlemenan terbuka. Bila ada penggunaan kekerasan,
pertumpahan darah, perang saudara, itu bukan para komunis yang
memulai, tetapi kelas penguasa sendiri."
Arahan kontra-revolusioner ini hanya dapat dibebankan kepada
rakyat Indonesia karena para Pablois mengikat seksi-seksi yang
paling sadar akan kelasnya ke panji-panji dan program PKI.
Pengkhianatan-pengkhianatan para Pablois di Sri Lanka dan Indonesia
menunjukkan sifat kontra-revolusioner Pabloisme. Seperti Komite
Internasional Internasional Keempat menyatakan dalam Arahan-arahan
resolusi 1988-nya, Krisis Kapitalis Sedunia dan Tugas-Tugas Internasional
Keempat:
"Dalam bantuan yang mereka berikan kepada Stalinisme,
sosial-demokrat dan nasionalisme burjuis, oportunisme para Pablois
sentris memainkan peranan vital dalam memperbolehkan imperialisme
menjalani tahun-tahun penting antara 1968 dan 1975 ketika orde
dunia sedang tergoncang oleh gejolak ekonomi dan pergerakan internasional
kaum buruh dan rakyat yang tertindas di negara-negara terbelakang.
Ini membuktikan taksiran Trotsky tentang sentrisme sebagai agen
sekunder imperialisme. Para pengalah petit-burjuis yang mengajar
tentang nasib proletar yang akan selalu berakhir dengan bencana
dan sementara itu menemukan pandangan-pandangan baru tentang kelas
burjuis, tidak pernah menganalisa secara konkrit bagaimana kapitalisme
yang sudah jompo dapat hidup sampai dekade 1980an. Para Pablois
adalah yang paling tidak peduli untuk mempelajari hasil-hasil
politik-politik mereka. Sebanyak-banyaknya semua persaudaraan
petit-burjuis sentris, para radikal dan cendekiawan yang tidak
berkelas menolak a priori kemampuan revolusioner kelas pekerja
dan menerima kekalahan-kekalahannya sebagai sesuatu yang tak dapat
dielakkan, mereka tidak pernah memikirkan bagaimana konsekuensi-konsekuensi
sebuah politik Marxis yang benar akan bekerja di Sri Lanka di
tahun 1964, di Perancis di tahun 1968, di Chili di tahun 1973,
dan di Yunani dan Portugis di tahun 1974.
"Komite Internasional, sebaliknya, mengambil pengalaman-pengalaman
strategis proletar dalam periode setelah Perang Dunia Kedua pelajaran-pelajaran
penting yang akan menjadi dasar dari persiapan mereka untuk pergejolakan
revolusioner yang akan datang: pembangunan Internasional Keempat
sebagai Partai Dunia Revolusi Sosialis untuk memastikan kemenangan
kelas buruh internasional memerlukan sebuah perjuangan yang tanpa
henti dan tanpa kompromi melawan oportunisme dan sentrisme.
Sebuah kepemimpinan revolusioner yang baru harus didirikan
untuk memimpin rakyat Indonesia untuk menghancurkan diktatur Suharto,
menggulingkan kelas burjuis dan menghentikan pemerasan imperialis
dalam perjuangan untuk revolusi sosialis sedunia. Menentang para
Stalinis dan Pablois yang sedang mempersiapkan jebakan berdarah
satu lagi untuk rakyat, seksi Indonesia dari Komite Internasional
Internasional Keempat (ICFI) harus dibangun untuk memimpin perjuangan
ini.